Chapter 7

4.3K 506 20
                                    

Aku berjalan keluar rumah sakit dan segera mencari taksi. Feeling ku malam begini pasti sangat sulit mendapatkan taksi. Sampai akhirnya aku melihat sebuah taksi yang sepertinya kosong.

"TAKSI!" teriakku dan taksi itu perlahan menepi ke trotoar dan aku segera berlari menghampiri taksi itu. Namun, ternyata aku tidak sendirian. Seseorang berdiri tepat di sebelahku, di depan pintu penumpang. Orang di sebelahku ini mengulur tangannya ke arah pintu taksi ku.

"Maaf, Mas, saya duluan yang teriak manggil taksi ini."

"Saya duluan yang manggil taksi ini, bahkan saya menghubungi supir taksi ini melalui telfon."

Suara orang ini sangat tidak asing, dan firasatku sangat buruk. Perlahan aku menoleh ke samping dan menatap siapa pemuda yang sedang berdiri di sampingku.

"Maaf, neng, saya memang mau menjemput Dokter Regas. Tadi saya di telpon sama Dokter Regas, neng," ujar si supir taxi.

Ya, dia. Regas. Manusia jahanam. Perlahan aku mundur. Malu tapi dongkol juga, gimana ya. Emosi padahal bukan salahnya dia, sih. Tapi kesel aja gitu liat mukanya, songong banget lagian.

"Oke,"  ucapku singkat. Aku sudah malas berdebat dengan orang ini.

"Mau pulang?"

Aku melirik Regas jengah, tatapanku kalo ditranslate pake bahasa manusia itu begini: Menurut-lo-?

"Ya." Pokoknya aku udah males mikir, males ngomong dan males berurusan dengan cowok ini.

Regas membuka pintu taksi dengan lebar, "Masuk."'

Apaan ini? Dia mau sok-sok an baik sama aku? Setelah dia muntah dan buang sampah di depan flat ku? Setelah dia ngatain aku tukang nguping? Setelah dia nipu aku tentang ruang rawatnya Titania?

"Gak. Gue gak terbiasa satu mobil sama orang lain."

"Terus kenapa manggil taksi? Kenapa gak bawa kendaraan sendiri?"

"Ya lo sendiri kenapa ga bawa mobil, dokter kan banyak duit. Lu ga punya mobil?"

"Kenapa gue perlu banget jawab pertanyaan lo itu?"

"Ya kalo gitu gue juga kenapa perlu jawab pertanyaan lo?"

"Mas, Mbak, jadi ini yang mau saya anter siapa to?"

"Saya."

"Saya."

Aku dan Regas berbicara barengan. Regas menarik pergelangan tanganku dan mendorongku masuk ke dalam mobil, tangannya berada di atas kepalaku menjagaku agar tidak terjeduk. Sebelum aku sempat protes, ia masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahku.

Yang kulakukan hanya bisa mendengus sebal. Sudahlah aku benar-benar kehabisan tenaga untuk bertengkar dengannya. Aku melipat tanganku di depan dada, dan bersandar. Hari yang melelahkan. Sudut mataku melirik Regas yang sedang memainkan ponselnya.

"Ngapain liat-liat?"

EH BUSET, MATANYA ADA DI KUPING? KOK DIA TAU AKU LAGI LIAT DIA.

"Dih pede banget." Aku melengos, pipiku memanas. Sialan. Untung pencahayaannya kurang, bisa skak mat aku kalau dia lihat begini.

"Gue udah ngecek Titania, tapi belom gua tanya. Sepertinya kecurigaan lu bener." Suaranya mendadak serius, aku meliriknya sekilas. Lalu mengangguk ala kadarnya.

"Lo nggak denger gue ngomong ya?"

"Denger."

"Respon macam apa itu?"

Aku memutar mataku dalam kegelapan. Ternyata orang ini cerewet juga ya. Aku mengehela nafas, "Iya, tolong bantu adek gue buat ngelawan bulimia nya ya. Makasih."

Neighbour From HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang