Chapter 27

614 65 11
                                    

Aku selalu merasa butuh waktu yang cukup lama mengumpulkan keberanian dan mengucapkan kalimat keramat yang menandakan perjalanan ini sudah sampai di garis finish. Paling ngga, yah, mungkin sampai checkpoint pertama. Soalnya bagi beberapa orang "maukah kau menikah denganku?" adalah garis finish yang sesungguhnya. 

Regas barusan ngomong apa? Aku salah dengar, kan? Please, tell me. Is that even too soon? I dont know. I DONT KNOW! Sudah berapa lama aku kenal sama Regas sampai dia berani ngomong begitu?

"Kamu mau minum apa? Aku punya soda di kulkasku. Aku ambil sebentar kalau kamu mau." Regas bertanya sementara aku masih mematung. Pikiranku tiba-tiba kosong. Aku speechless. Sedikit shock. Ngga, maksudku SANGAT syok.

Regas menoleh ke arahku, lalu tertawa. "Are you okay, Ardisa?" Tangannya bergerak menuju puncak kepalaku dan mengacak rambutku pelan.

Rasanya aku ingin teriak, No, Sir. I'm not okay. AT ALL.

"You are right. We should talk," gumamku.

Regas terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk setuju. Ia mengambil sedikit nasi goreng dengan sepatula dan mencicipinya. "Not bad, its good."

"Wanna try some?" tawarnya.

Aku mengangguk. Dalam hati aku sedikit bingung, bagaimana dia bisa terlihat tenang padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja mengatakan kata-kata itu.

Regas menyodorkan sepatula padaku. "Hati-hati ya, panas."

Aku mencicipi nasi goreng buatan Regas. Sejujurnya, aku agak lupa rasa nasi goreng rumahan seperti apa. Mengingat hanya ada aku dan Papa di rumah yang kebanyakan menghabiskan waktunya di luar kota untuk mengerjakan beberapa proyek. Papa menyibukkan dirinya semenjak Mama tidak ada, begitu juga denganku. 

Aku menoleh ke arah Regas. Ini enak. Saking enaknya aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Senyum Regas melebar, ia tampak puas dan bangga dengan keahlian memasaknya. Setelah selesai, ia menyusun dua piring di meja makan beserta alat makan kemudian menuangkan nasi goreng tersebut di piring. 

"Kamu mau tetap mematung disana, atau makan bareng aku?" ujar Regas seraya tertawa geli. 

Mendengar ucapannya aku bergegas menuju ke arah meja, menarik kursi dan duduk tepat di depannya. Masalahnya adalah bagaimana caranya agar aku fokus pada piringku sementara ada manusia semenarik Regas didepanku? Cowok ini, lho, yang baru saja menyatakan perasaannya padaku. Yang mengucapkan kata-kata keramat segampang itu. 

"Ardisa, sepertinya aku lebih menarik daripada makanan yang ada di piringmu, ya?" 

Pipiku memanas. Tidak! Bisa ngga sih, berhenti mengkonfrontasi aku seperti itu? MEMANG. MEMANG DIA LEBIH MENARIK DARIPADA MAKANANKU. Terus kenapa?!

Tentu saja itu hanya berani kuucapkan di dalam hati. Aku masih punya ego setinggi langit dan malu seluas samudera. Aku mendengus, "Kepercayaan diri yang bagus, Regas. Kayanya lama ngga ketemu aku, kadar kepercayaan dirimu meningkat drastis. Bagus, deh." 

"Welcome, Sassy girl, glad you're back." Regas menyeringai. "Now, eat."

Aku menurut dan mulai makan dengan menunduk, tidak berani sedikitpun mengadahkan pandanganku karena aku bisa merasakan tatapan Regas. Ini bukan geer sama sekali, tapi pernah nggak sih kita merasa ditatap orang padahal kita gak melihat orang itu? Persis seperti yang kurasakan sekarang. 

"Kenyang ngga natapin gue?" ujarku datar. Berusaha untuk datar lebih tepatnya. Aku tidak boleh menunjukkan diriku yang lemah. 

"Kenyang," jawab Regas. Aku bisa merasakan ia tersenyum dari nada bicaranya. 

Neighbour From HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang