Chapter 8

3.5K 448 14
                                    

Seperti biasa, hariku kali ini tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan beberapa hari terakhir. Mungkin hanya berubah dibagian; tugasku semakin berat dan banyak dari biasanya, sekarang aku satu kantor dengan Keenan, dan harus menjenguk serta menjaga Tita.

Tita sudah boleh keluar rumah sakit nanti sore, yang artinya nanti sore aku harus pergi ke rumah sakit untuk membantu bersiap-siap. Papanya Tita slash Om ku juga pulang ke Jakarta hari ini, katanya sih pesawatnya tiba nanti malam.

Setelah pulang dari rumah sakit nanti, Tita masih harus sering kontrol mengenai "penyakit" nya ke dokter-yang-gak-mau-aku-sebutkan-namanya. Dari sekian banyak dokter di dunia, no, bahkan di jakarta aja deh, kenapa Tita maunya cuma sama Re—uhm..., maksudku, si dokter ngeselin itu?

Jadi ingat percakapan mengerikan antara aku dan Tita. Katanya Regas ganteng, makanya hanya mau dirawat oleh Regas. Darimana sih dia mendapatkan gen centil begitu. Mendengar ucapannya aku hanya bisa mengehela nafas panjang dan memutar mataku malas.

Aku menelusuri lorong rumah sakit, suasana rumah sakit ini tidak seramai tadi pagi. Sebelum berangkat ke kantor, aku menyempatkan diri untuk menjenguk Tita. Anak itu terlihat baik-baik saja, tampak berseri-seri. Saat ku tanya, katanya sore ini dia sudah boleh pulang. Dan here i am, sedang dalam perjalanan menuju kamar Titania.

Langkahku terhenti, beberapa meter di depanku ada orang yang kubenci. Yah, nggak benci sih. Cuma males aja gitu. Berhubungan sama dia bikin aku darah tinggi, nggak jauh-jauh dari berantem dan emosi. Heran. Ia tampaknya tidak menyadari keberadaanku, ia duduk di kursi tunggu sambil menatap ponselnya. Terlihat frustasi.

Aku baru saja mau pura-pura tidak lihat dan memutar arah, Regas sudah mengadah. Tatapan matanya tepat ke arahku. Aku mendengus, lalu cepat-cepat berjalan menghindarinya.

"Oy," panggilnya.

Cepetan, Dis. Cepetan!

"Oy, tuli ya?"

Langkahku yang tadinya cepat, berubah menjadi berlari. Bodo amat. Pokoknya aku nggak mau berhubungan sama dia lagi.

Setibaku di kamar Titania, rupanya Tita sudah rapi dengan pakaiannya. Begitu melihatku yang datang, senyumnya melebar. Ia segera berlari ke arahku dan mengamit tanganku. "Kak," ujarnya.

"Hm? Mau apa nih kamu? Tiba-tiba jadi manja begini pasti ada maunya."

"Gue kok kaya gamau pulang ya, pengen disini aja."

"Lah, emang kenapa?" ujarku sambil menatapnya heran.

Titania mendesah pelan, "Soalnya kalo disini gue hampir tiap hari ngelihat Dokter Regas. Ganteng banget. Itu mamanya ngidam apa ya, Kak, bisa punya anak seganteng itu?"

Aku segera memutar bola mataku malas, kenapa sih. Nilai cowok itu dimataku sudah minus minus minus seminus-minusnya. Nggak punya nilai plus sama sekali, sudah ketutupan sama ngeselinnya dia. "Gue kalo bisa request mau gak ketemu dia lagi dah rasanya," ujarku.

"Loh kenapa?" tanya Titania.

"You don't want to know, trust me."

"Padahal dia nanyain lu loh, Kak." Titania mengambil jeruk yang ada di nakasnya dan mulai mengupasnya.

Ada apa Regas menanyakan aku? Ngapain kepo begitu, sih. Aku mengerutkan dahiku, "Tanya apa?"

"Tanya profesi lo apa, kerja dimana."

"Lah ada apa dia tiba-tiba nanya begitu," ujarku. Aku mengambil sepotong jeruk dari tangan Tita dan memakannya.

Titania mengangkat bahunya, "Suka kali dia sama lo."

Neighbour From HellWhere stories live. Discover now