Chapter 10

3.6K 430 21
                                    

Dari beberapa artikel yang aku baca, sebenarnya kebetulan itu gak ada. Kita hanya tidak bisa menerima ketidak sengajaan yang terjadi sampai-sampai menganggap itu suatu kebetulan. Apa kalian  mengerti maksudku?

Aku bukannya sok tau ya, ini juga berdasarkan artikel yang aku baca kok. Beneran deh, hanya logika dan akal manusia yang beranggapan ada "kebetulan" dalam hidup kita. Kebetulan itu cuma bahasa manusia. Sesuatu yang tiba-tiba terjadi dan berubah seketika dianggap kebetulan. Manusia yang gak sanggup menerima kesengajaan Tuhan. Logika manusia terbatas, akal pikiran manusia yang pintar pun tak mampu menguak isi alam. Kalo kamu bilang kebetulan, itu adalah bahasa ketidaksanggupan manusia menerima kesengajaan Tuhan.

Dan iya, sekarang aku memang sedang gak sanggup menerima kesengajaan Tuhan. Kebetulan macam apa sih, ini?

Pertama, aku harus satu gedung apartment dengan Regas. Kedua, kamarku harus bersebelahan dengan Regas. Ketiga, Regas adalah dokter yang menangani adikku. Yang paling parah, sekarang harus kerja bareng Regas? Ya Tuhan... bisa gak sih, aku berhenti buat berurusan sama Regas?

Aku benci banget sama wajahnya yang angkuh dan arogan itu.

Harapanku sih cuma satu, semoga Regas ini bukan Regas yang sama dengan tetangga sebelah apartmentku slash dokternya Tita. Maksudku, plis deh, di dunia ini ada berapa banyak orang coba yang namanya Regas dan berprofesi sebagai dokter. Pasti banyak banget, pikiran positifku mengatakan itu bukan dia. Bukan orang yang sama. Pokoknya bukan.

Iya, aku sedang denial. Tapikan ngga ada yang tau kalo itu beneran Regas yang itu.

"Earth to Ardisaaa~ whoosah!"

Aku mengerjap dan menatap bosku yang sedang tertawa.

"Oya maaf, Bu."

"Kenapa muka lo langsung pucet gitu? Lo kenal Regas? Apa Regas ini nama mantan lo?" Sarah tertawa kecil kemudian lalu menyodorkan air kepadaku.

Aku mengambilnya dengan senang hati. Masih agak shock.

"Katanya sih dia bisa ketemu nanti siang. Tapi gue gatau, coba ya... hm, lo kontak dia aja deh untuk konfirmasinya," kata bosku.

Aku mengangguk paham.

"Oke, sekarang lo boleh keluar."

"Makasih, Bu."

Bu Sarah mengangguk lalu menggerakkan tangannya menyuruhku pergi. Aku berdiri dan berjalan keluar ruangan dengan pikirin kosong. Gak mungkin Regas yang itu kan?

Aku kembali ke kubikelku dan duduk. Segera menjatuhkan kepalaku ke meja dan menghela nafas panjang. Diantara sekian banyak nama kenapa namanya mesti nama orang itu. Yah, kenapa gak anto, suparman, atau dodi? Kenapa mesti Regas?

Tidak. Aku tidak boleh begini, ini cuma perkara nama tapi kenapa rasanya aku orang paling susah di dunia. Lagipula sebenarnya masalahku sama Regas apa, sih? Well... dia ngeselin, sih. Menyebalkan. Galak. Dingin. Gak jelas. Okay, that's a lot.

Okay, coba lihat sisi positifnya.

Baiklah, gak ada. Dia gak ada positif-positifnya. Mungkin saja dia memberiku coklat semalam dengan kata-kata bijak, aku bahkan sampai sekarang belum membuka coklat itu. Takut ada racunnya. Dia ganteng. Tapi itu bukan hal yang bisa menutupi hal-hal tidak kusukai dari dia!

Oke, aku menyerah. Huhu, siapapun tolong aku.

Dingin.

"Woy bangun, kerja lo."

Aku membuka mata, Sebuah es krim menempel di jidatku. Aku duduk tegak dan mendapati Keenan tersenyum lebar sambil memegang es krim.

"Eh Regas,"

Neighbour From HellOnde as histórias ganham vida. Descobre agora