Chapter 16

2.8K 408 18
                                    


Semua orang pernah patah hati.

Patah hati ini termasuk penyakit semua kalangan. Ada yang patah hati kemudian trauma, ada yang patah hati namun berani mencoba lagi, ada yang patah hati kemudian memilih diam dan menyimpannya rapat-rapat seolah ia tidak pernah patah hati sebelumnya. Aku tidak menyangkal, aku pernah patah hati berkali-kali. Hubunganku yang terakhir hanya berlangsung satu tahun, lalu kami berdua sama-sama menyerah.

Aku patah hati.

Hanya beberapa saat kemudian aku healing lalu bertemu dengan Keenan yang aku pikir setidaknya tidak akan membuatku patah hati lagi dalam waktu berdekatan. Well, aku tidak sepenuhnya salah. Namun tidak juga benar. Aku tidak menyangka patah hatiku karna Keenan ternyata terjadi di masa depan. Setelah tiga tahun berlalu.

Aku pikir aku sudah lupa rasanya patah hati. Ternyata rasanya masih sama sakitnya. Terima kasih untuk Regas yang telah membuatkanku teh hangat, setidaknya aku merasa sedikit rileks. Terima kasih kepada L-Theanin yang terkandung dalam teh ini yang membuatku jadi lebih tenang.

Sampai mana aku tadi?

Oh ya, patah hati.

"Gue selalu berpikir, ah apa karna gue selama ini tidak memunculkan sebuah sign, so that's why he never notice that. Di sisi lain gue sebenernya takut kalau perasaan gue ini cuma dari satu sisi saja, i mean, i don't want to ruin our friendship. of course, but everybody knows that cowok dan cewek sahabatan itu hampir mustahil." Aku mengusap ingusku. Mataku benar-benar terasa sangat berat, sepertinya besok aku harus meliburkan diri jika mataku tidak membaik besok pagi.

Regas mengangguk-angguk paham, wajahnya terlihat datar. Keningnya berkerut samar. "Gue pikir Keenan juga suka sama lo. Malah awalnya gua kira kalian berdua pacaran." Ia membuka kuaci lalu memakannya. "Ternyata lebih complicated."

"Gue aja yang kegeeran. Harusnya gue gak ngomong begitu kan, Regas? Gue tau gue gak bakal pernah siap sama jawabannya. Lihat aja, barusan gue menyakiti diri gue sendiri. Huhuhuuu..."

Tangisan lainnya muncul. Aku tidak dapat menahan perasaan sedihku. Seperti ombak yang tiap gulungan semakin kencang. Menyebalkan sekali.

"Is it your first time?" tanya Regas menyindir. Ia membuka kuaci dan menyodorkan isinya ke arahku.

"Apa?" tanyaku sambil memakan kuaci yang diberikan Regas.

Regas tersenyum miring, seperti mengejek. "Patah hati."

Ternyata Regas tetap menyebalkan. Aku cemberut lalu menatapnya tajam. "Yes. Setelah 3 tahun berlalu, this is my first time to feel this broken again. Kenapa?"

Regas terkejut dan bergerak menjauh, tangannya terangkat. "Weitsss, santai bos. Gue kan cuma tanya. Buset galak bener."

"Gatau lah, gue capek." Aku memejamkan mataku. "Bentar, ya, Regas. Gue mau numpang merem dulu, mata gue pegel gegara nangis."

"Ardisa, jangan tidur disini lo. Itungannya gue masih orang asing," sahut Regas dengan nada sinis.

Yah, gak salah. Namun aku tidak melihat Regas berpotensi untuk menjadi orang jahat yang akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak padaku. "Mulai sekarang lo jadi temen gue," kataku acuh.

Regas tertawa kencang, tidak menghiraukan kata-kataku. Aku mendengar suara grasak-grusuk, kurasa dia membersihkan meja. Kemudian derap langkah menjauh.

"Lo laper nggak?" tanya Regas dari kejauhan. Sepertinya dia di dapur. Kemudian terdengar suara berisik. Sekarang apalagi yang dia lakukan?

"Laper," jawabku cepat.

Neighbour From HellOù les histoires vivent. Découvrez maintenant