Chapter 9

3.6K 473 44
                                    

Suara jam berdetak nyaring di tengah lorong rumah sakit. Di luar hujan, namun bukan hanya di luar yang basah. Pipiku juga. Tangisanku terhalau bunyi hujan yang deras. Aku berkali-kali mengusap air mataku, menahan segukanku.

Di tengah lorong ini, aku duduk memeluk lututku. Suasananya sepi. Papa masih dalam perjalanan, sedangkan mamaku di dalam ruangan sana. Ruangan yang dingin, yang aku sendiri tidak tahu apakah setelah itu mamaku masih ada atau tidak. Aku sendiri tidak yakin dengan prognosisnya. Dokter yang menangani mamaku sangat terlambat karna satu hal yang aku tidak mengerti.

Mamaku bukan prioritasnya.

Dinginnya malam itu bahkan tidak terasa. Tiba-tiba lampu ruang operasi berhenti menyala. Aku mengangkat wajahku, menatap pintu ruang operasi dengan tatapan berharap dan mata yang basah. Tuhan, tolong, selamatkan mamaku.

"Disa..."

"Dis?"

"Disa!"

Aku terbangun. Leherku rasanya kaku. Keenan menatapku, tatapannya khawatir. Aku mengerutkan kening, "Kenapa lo?"

"Harusnya gue yang tanya, lo gapapa?" tanyanya khawatir.

Pipiku terasa basah. Aku gak ngiler sampe pipi kan? aku meraba pipiku, basah. Bukan iler, tapi air mata. Aku menangis dalam tidurku?

"Gapapa, kok gue nangis ya? Apa ini iler?"

Keenan menggeleng, lalu memberiku beberapa lembar tissue. "Lo nangis. Tadi terisak, makanya gue bangunin. Lo mimpi apaan?"

Ah, mimpi itu.

Mimpi yang selalu menghantuiku setelah Mama pergi. Aku tersenyum kecut. Kenapa tiba-tiba mimpi ini datang lagi, setelah sekian lama? Apa karna aku berurusan dengan rumah sakit akhir-akhir ini?

Aku menggeleng lemah, "Gapapa." Aku menatap sekelilingku, berusaha mengalihkan perhatian. "Eh, ini udah dimana sih?"

"Udah sampai daritadi," jawab Keenan tidak sabar. "Jawab dulu lo mimpi apaan?"

"Lah, kok gue ga dibangunin?"

"Kasian, lo capek. Jadi gue diemin dulu berapa saat. Gataunya lo gitu," kata Keenan. Ia memilih untuk tidak membahas lebih lanjut, mungkin mengerti kalau aku tidak mau ceirta.

Aku mengangguk-angguk, "Yaudah, gue masuk dulu. Makasih, Keenan. Sorry ngerepotin."

"Anytime."

Baru saja aku membuka pintu mobil, tiba-tiba Keenan memegang tanganku. Mencegahku untuk keluar dari mobil.

"Dis," panggilnya membuatku menoleh.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kalo sedih jangan dipendem sendiri, ya. Lo tau kan kalo lo bisa cerita apa aja ke gue?"

Aku tertegun sesaat sebelum akhirnya mengangguk. Keenan selalu seperti itu. Aku berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. Keenan tersenyum manis lalu menepuk tanganku pelan, "Yaudah. Gih, masuk. Selamat tidur, Ardisa."

Tubuhku rasanya kaku. Aku keluar dari mobil Keenan. Keenan menurunkan kaca mobilnya, lalu melambai padaku yang masih kaku. Sialan, bisa-bisa aku makin suka sama Keenan kalau begini ceritanya. Mobilnya pergi menjauh sementara aku masih disini berdiri menatap kepergiannya. Barusan itu apa, sih?

Neighbour From HellWhere stories live. Discover now