11. SEKILAS PERSAUDARAAN

23 3 1
                                    

RARE | 11. SEKILAS PERSAUDARAAN


"Sebegitu beruntung dan harmonisnya
kakak beradik dimata anak tunggal."

*****

Relita menutup lokernya. Beralih mendekati cermin untuk mengikat rambut. Merasa penampilannya sudah cukup rapi, ia keluar dari ruang karyawan menuju counter kasir menghampiri Citra.

Satu persatu, Citra menjelaskan pada Relita tentang tata cara pelayanan pemesanan dan transaksi melalui tablet.

"Mba, pesan Sundae Mondaynya satu."

Relita yang sedang serius memperhatikan Citra mengangkat pandang karena kedatangan pelanggan. Begitu pula Citra.

"Habis dapat hidayah apa lo sampai nyasar ke toko gue?" ejek Citra pada Ramanda.

"Ya, kali mau makan es krim perlu nunggu hidayah dulu?" balas Ramanda santai.

"Perasaan, waktu gue undang pas pembukaan toko bulan kemarin, lo sendiri yang bilang kalau lo gak suka es krim?" ujar Citra membuat Ramanda berdehem sebab merasa tersindir. "Apa gue salah dengar?"

"Iya, lo salah dengar," alibi Ramanda. "Buruan gih ke dokter THT. Siapa tau telinga lo kena infeksi mantan?" Satu-satunya jurus ampuh Ramanda yang secepat kilat dapat membalikkan keadaan jika berhadapan dengan Citra.

Citra mengumpat. "Lo bisa gak usah bahasa-bahas Dennis?"

"Lah, sejak kapan gue bahas Dennis? Perasaan, gue aja gak ada nyebut namanya?" goda Ramanda menikmati rasa kekesalan teman sekelasnya itu. Ia lantas bergeleng kepala sambil berdecak lidah. "Lo kalau belum move on, gak usah sensian begitu dong sama orang yang gak tau apa-apa."

"Gak tau apa-apa, jidat lo!" maki Citra disambut kekehan Ramanda. "Kalau kesini cuman mau ngeledekin gue, lebih baik lo pulang sebelum gue usir," tegas Citra menatap sinis Ramanda.

"Sadis, pantes aja Dennis gak kuat__" desis Ramanda yang langsung terdiam karena melihat Citra mengambil sebuah alat scoop es krim yang nyaris dipukulkan ke arahnya, Ramanda refleks memundurkan diri. "Muka gue terlalu berharga. Gak pantes dipukul pakai benda begituan. Mending lo tampar gue pakai duit."

Citra berdecih. "Udah, cepatan! Lo mau pesan apa?" ketusnya.

"Nah, kan. Beneran kena infeksi mantan telinganya."

Relita segera menahan Citra yang hendak melayangkan nampan ke arah Ramanda. "Udah, Cit. Gak usah diladenin." Sebenarnya, Relita juga kesal melihat polah lelaki itu. Tetapi demi ketentraman dan kenyamanan pengunjung yang lain, Relita terpaksa turun tangan untuk menghentikan keduanya.

"Gak bisa begitu, Ta!" Citra memprotes. "Ini anak, kalau gak dikasih mampus, gak bakal diem mulutnya," omelnya membuat Ramanda tertawa kecil. "Ketawa lo! Seneng lo!" Alihnya pada Ramanda.

"Udah, udah." Relita menuntun tubuh Citra agar menjauh dari hadapan Ramanda. "Biar gue aja yang jualin."

Citra akhirnya menuruti Relita. Ia mendengkus sebelum berlalu dari hadapan keduanya.

"Ada perlu apa sampai ngikutin ke sini?" tanya Relita baik-baik. Tetapi lelaki itu malah menaikkan sebelah alisnya, menatap Relita datar.

"Gue gak ngikutin lo," sanggah Ramanda.

"Terus?"

"Lo gak liat kita lagi dimana sekarang?"

Relita berdecak. Bisa-bisanya lelaki itu mengembalikan perkataannya sewaktu  mereka di zebra cross depan tadi. "Iya gue tau."

RAREWhere stories live. Discover now