Heaven In Your Eyes -3-

18.1K 1.3K 9
                                    

        Flashback...

                “Gimana, Arun?”

            Sebuah amplop cokelat yang pernah diberikan, diletakkan sang ibu di atas meja kerjanya tidak mengusik perhatian Arun sama sekali. Dia sibuk membaca  berita online, salah satu hal yang bisa dilakukannya untuk mempersingkat durasi percakapan soal perjodohan.  Arun tidak mau tahu dan tidak peduli dengan keputusan apapun yang akan diambil ke dua orangtuanya soal siapa pendamping hidupnya.  Memilih atau tidak, baginya sama saja.

            “Terserah ibu.”

            “Kok terserah Ibu? Kamu sudah liat fotonya?”

“Maaf, Bu. Arun belum lihat.”

Ibu berusaha memaklumi sikap Arun yang terkesan malas membicarakan perjodohan, padahal ini menyangkut masa depannya. Ibu lalu menjelaskan sedikit lebih detail tentang calon menantunya yang diperoleh langsung dari Surya Triatomo sesaat setelah ke dua belah pihak setuju untuk mempertemukan Arun dan putri Surya Triatomo yang akan dijodohkan dengan Arun.

Ibu Arun memandangi foto calon menantunya sambil tersenyum. Benar-benar tidak menyangka akan menjadi besan dari pengusaha terkenal itu. Awalnya, Surya Triatomo mengumumkan bahwa beliau  sedang mencari calon menantu, dan membuka jalan perjodohan bagi siapa saja yang ingin melamar putrinya. Keluarga Arun sama sekali tidak ikut dalam perjodohan itu. Tapi entah mengapa ternyata malah Arun yang dipilih sebagai calon menantu oleh Surya Triatomo.

“Iya. Nanti Arun pikir-pikir dulu.” Arun memberikan jawaban diplomatis lengkap dengan senyum tipis.

            “Ya sudah. Nanti kabari Ibu kalau kamu sudah benar-benar yakin.”

“Iya, Bu.”

Setelah ibu membiarkannya sendiri di dalam ruang kerjanya, Arun melanjutkan membaca berita yang tadi dibacanya dalam keadaan tidak fokus.

Arun menghela napas pendek ketika memutuskan membuka amplop cokelat itu. Tidak ada ekspektasi apa-apa karena perjodohan ini bukan keinginannya. Diambilnya satu foto secara acak. Diamatinya sekilas. Seperti pernah melihatnya.

Tanpa berpikir terlalu lama, dimasukkannya kembali foto itu ke dalam amplop. Ia bahkan tidak tertarik untuk sekedar membaca profil perempuan yang sudah disetujuinya untuk menjalani masa penjajakan.

Ditutupnya laptop yang memanas karena berjam-jam diaktifkan. Tidak ada perubahan siang ataupun malam di dalam ruang kerja yang selalu tertutup tirainya tersebut. Lampu ruangan itu dimatikan sebelum Arun menutup pintu.

            Ibu tersenyum karena akhirnya Arun sudah membuka hatinya untuk perjodohan. Tinggal menunggu apakah masa penjajakan akan berhasil membawa putranya pada sebuah kehidupan baru bernama pernikahan.

                                                                        ***

Surya  Triatomo, pernah bercerita kepada salah seorang relasi di sebuah  jamuan makan malam tentang rencananya mencarikan jodoh untuk putrinya. Hanya berselang beberapa hari dua keluarga  datang berkunjung ke rumah mereka membahas soal itu dalam kurun waktu seminggu. Menyusul satu keluarga lainnya yang datang tiga hari yang lalu.

Kalin menolak dan mencetuskan sebuah nama.

“Pa. Aku punya calon sendiri, Pa. Namanya Arun. Papa pasti suka.”

“Oh, ya?”

“Baca ini deh, Pa.” Kalin mengangsurkan sebuah majalah bisnis, tepat di halaman profil seorang pengusaha muda.

“Arundaya Agyana.”

 “Kalin udah nyari tau, Yah. Di majalah itu kan udah cukup jelas dia siapa. Arun punya gelar magister bisnis, ya walaupun bukan lulusan luar negeri. Tapi, prestasinya… Ayah liat kan? Kalau soal mapan, ya dia mapan.”

“Kamu kenal?”

Kalin menggeleng. “Mm, nggak bisa dibilang kenal sih. Tapi, Kalin pernah ketemu dia di bandara.”

“Bandara?”

Kalin mengangguk mantap. “Dia pernah nolongin Kalin di Bali waktu tiket Kalin ketinggalan di hotel. Jadi dia yang nemuin tiket Kalin, Pa.”

“Dewa penolong ya?”

Kalin hanya tersenyum kecil.

Seorang pangeran, tepatnya.

Pertemuannya dengan Arun memang cukup mengesankan. Arun datang menyelamatkannya dari kebuntuan. Saat itu Kalin memang benar-benar mensyukuri pertemuannya dengan Arun. Walau ya, pada pertemuan pertama itu, Arun terlihat begitu pendiam.

Ayah Kalin membaca majalah itu dengan lebih cermat. Bisa saja pilihan putrinya juga selaras dengan keinginannya. Maka sejak itu, investigasi dadakan dimulai. Sampai data-data yang dikumpulkan menjadi akurat, barulah beliau mengiyakan.

                                                            ***

            Kalin mengintip malu-malu di balik dinding ketika keluarga  calon suaminya  datang. Matanya mencari sosok yang akan menikahinya sebulan kemudian. Jantungnya berdebar. Hanya membayangkan selembar foto yang dikirimkan keluarga Agyana membuatnya tidak bisa tidur semalaman.

            “Arundaya.”

            Ia bahkan sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Foto Arun dibingkainya dengan rapi dan diletakkan berdampingan dengan fotonya. Membayangkan mereka terabadikan dalam sebuah foto. Mataharinya. Cinta yang  terbit di hatinya.

Heaven In Your Eyes (Completed)Where stories live. Discover now