Heaven In Your Eyes -14-

16.1K 1.3K 8
                                    

Arun jarang membuang waktunya semenit dua menit untuk sekedar memperhatikan gerak-gerik, ekspresi dan mimik wajah Kalin setiap mereka memiliki kesempatan berinteraksi. Tapi entah apa yang dipikirkan Kalin, karena setiap mata mereka bertemu atau Kalin kedapatan sedang memandangi wajahnya, Kalin tersipu-sipu. Arun merasa tidak ada hal aneh atau lucu yang dilakukannya sejak mereka tinggal di villa. Seingatnya semua berjalan seperti biasa di pagi hari itu. Tapi, Kalin melihatnya seperti melihat badut. Ada sesuatu yang membuatnya terus…sebenarnya Arun tahu Kalin tertawa. Tapi disamarkan dengan senyuman yang semakin lama membuat Arun tidak nyaman. Seseorang tersenyum atau tertawa karena memiliki alasan. Dan wajahnya bukan alasan Kalin untuk tersenyum-senyum.

            “Kenapa senyum-senyum? Kesambet?” Arun menyendok mie goreng yang diletakkan bersebelahan dengan piring berisi telur dadar. Tidak biasanya Bik Sumi membuat mie goreng sebagai teman nasi goreng.

            Kalin masih tersenyum. “Ah nggak kok. Masak kesambet? Lagi ingat sesuatu yang lucu aja.”

            Arun tidak akan bertanya tentang apapun alasan senyuman aneh Kalin. Dia pun terkadang seperti itu. Tertawa tiba-tiba ketika mengenang kejadian lucu yang baru saja berlalu atau sudah berlalu bertahun-tahun lamanya. Hanya saja, Arun sudah lupa kapan terakhir kali dia tertawa untuk alasan tersebut.

            Entah apa reaksi Arun jika Kalin menceritakan temuannya di kamar harta terpendam milik Arun. Dia belum melihat-lihat semuanya. Dan Kalin benar-benar sudah tidak sabar untuk menemukan hal-hal lain tentang Arun. Siapa tahu dia menemukan alasan mengapa Arun tercipta jadi seorang laki-laki galak. Dia akan merahasiakannya, bahkan dia berniat akan membuat sebuah kejutan di hari ulangtahun Arun yang jatuh bulan depan.

              “Masakan apa ini?” Arun menunjukkan wajah masam sekaligus penolakan terhadap mie goreng yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulut tapi tetap ditelannya susah payah. Dia sampai harus meminum air beberapa teguk untuk melenyapkan rasa ajaib dari masakan itu.

            Kalin tertawa kecil melihat Arun memakan masakan perdananya di villa. “Itu mie goreng buatanku. Gimana? Enak kan?”

            Arun mendengus. “Harusnya kamu kasih tau sebelumnya. Rasanya seperti makan mie garam.”

            “Mie garam? Mie yang terbuat dari  garam? Keasinan dong. Apakah masakanku seburuk itu?  Perasaan tadi enak kok.”

            Kalin ikut mencicipi mie goreng buatannya. Sebenarnya rasanya tidak terlalu buruk. Mungkin cara mengaduknya yang tidak rata. Bagian yang diambil Arun adalah bagian yang banyak garamnya. Dia hanya kurang beruntung saja.

            “Kalau masakan seperti itu kamu bilang enak, habiskan saja semuanya.” Arun bahkan menyingkirkan piring mie goreng dari jajaran piring di depannya.

            “Iya, nanti aku habisin.” Kalin menatap iba kepada masakannya. Beruntung dia membuatnya dalam porsi kecil. Dia yakin bisa menghabiskannya meskipun rasanya pasti akan menyakitkan ketika memakannya. Masakannya ditolak oleh Arun.

            Padahal jika Arun bisa menghargainya, setidaknya Arun tidak perlu menghinanya. Kalin bertekad akan menghabiskan masakannya. Sebagai bentuk penghargaan terhadap kemauannya untuk memasak. Jika dia membuangnya, berarti dia sepakat dengan Arun. Masakannya bukan monster yang mengerikan. Tidak ada orang yang akan mati karena memakan mie goreng keasinan.

                                                                        ***

            Kalin belum berniat melanjutkan misinya kemarin. Dia terlalu kesal dengan sikap Arun dalam menilai masakannya. Kata ibu, seburuk apapun hasil karya seseorang, kita harus menghargai dan memberikan apresiasi positif. Seharusnya Arun belajar itu dari ibunya.

            Ponsel di pangkuannya berdering, dan Kalin melonjak senang karena melihat nama “Ibuku Cantik” tertera di layar LCD ponselnya yang berkedip-kedip.

            “Ibuu,”

            Kalin berbaring telungkup, memainkan ujung-ujung rambut, memilin-milinnya dengan jari telunjuk. Tidak lama, dia berganti posisi menjadi telentang. Lalu duduk bersila dan terakhir kembali telentang.

            “HEII!!!”

            Kalin menggulingkan tubuhnya ke samping dan tepat saat itu, Arun muncul sambil berkacak pinggang. Kalin cepat-cepat bangun dengan ujung handuk keluar dari lipatan. Handuk yang dikenakannya meluncur turun sampai ke pinggang. Dirapikannya kembali walau terkesan terlambat karena Arun bahkan sudah melihat separuh badannya dari atas sampai ke pinggang.

            “Kamu ngagetin aja. Nggak bisa ketuk pintu dulu apa?” Kalin buru-buru turun dari tempat tidur. Dia gelagapan sampai tidak memperhatikan kakinya belum sampai ke atas karpet hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan dan tersandung.

            “Kamu aja yang nggak dengar. Saya ngetuk tadi.” Arun menangkap ke dua lengan atas dan menyentuh ujung handuk Kalin yang sepertinya akan terlepas lagi. Dia tentunya tidak keberatan harus mengulangi pemandangan tadi. Tapi dia harus terlihat tidak tertarik walau hal yang ingin dilakukannya detik itu adalah menarik handuk yang dipakai Kalin terlepas dari tubuh Kalin.

            “Kamu mau ngapain?” Kalin menunduk dan merasakan jari-jari Arun memegang lipatan handuknya di bagian dada. Sumpah mati Kalin belum siap. Tapi jika Arun memang menginginkannya, dia bisa berbuat apa?

            “Hanya bermaksud menyelamatkan mukamu.” Arun merapikan handuk yang dipakai Kalin di bawah tatapan malu Kalin. Setelah yakin tidak terlepas lagi, Arun mundur beberapa langkah setelah berbalik. “Ini terakhir kali saya ngeliat kamu pake handuk saya.”

            Kalin merapikan handuk. Belum sempat dia berkata lagi, dia mendengar bunyi berdebam yang sangat keras dari pintu yang dibanting Arun.

            “Sudah dapet tontonan gratis, masih marah juga.”

                                                                        ***

            Arun menyambar slof rokoknya, menarik sebatang dan menyulutnya menggunakan korek gas. Dia berdiri dengan bahu kiri bersandar pada pilar kayu di halaman belakang. Berusaha mengenyahkan pikirannya tentang Kalin yang setengah telanjang dan bagaimana tangannya gemetar ketika merapikan handuk yang dipakai Kalin.

            Dia meyakini bahwa hawa panas yang naik di sekujur tubuhnya saat melihat dan menyentuh Kalin adalah hal yang normal. Dia hanya menyalahkan mengapa tubuh Kalin terlalu menggoda. Kulitnya yang putih mulus, ke dua mata sendunya yang menyiratkan rasa takut. Dan aroma sabun bercampur minyak telon yang dipakai Kalin. Arun masih mengingatnya  dan setiap nikotin masuk ke paru-parunya dia merasakan napasnya semakin sesak.

            “Kamu…ada yang mau diomongin?”

            Tiba-tiba Kalin muncul di belakangnya. Memakai sweater miliknya yang kebesaran. Arun sudah melarang Kalin memakai handuknya, tapi Kalin masih bersikap keras kepala dengan memakai sweaternya.

            Arun tidak tahu mana yang lebih cepat. Gerakan tangannya membuang rokoknya atau gerakan bibirnya mematuk bibir Kalin. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, sementara bibirnya menjelajahi bibir Kalin yang terbuka untuknya.

            “Arun…” Kalin berbisik lirih. Ke dua tangannya menyusup di rambut Arun yang mencumbunya dengan penuh gairah.

            Kalin membuka ke dua matanya ketika Arun mendorong tubuhnya menjauh. Arun menatapnya dengan serba salah. Bingung. Sebelum Kalin bertanya, Arun sudah lebih dulu meninggalkan halaman belakang. Meninggalkannya dalam tanda tanya.

Heaven In Your Eyes (Completed)Where stories live. Discover now