Heaven In Your Eyes -13-

16.5K 1.2K 2
                                    

Arun tidak bisa menyalahkan Kalin soal ciuman mereka kemarin. Dia mengakui bahwa yang dilakukannya saat itu hanya mencoba meyakinkan Kalin bahwa dia hanya ingin Kalin merasa lebih baik dalam kehidupan pernikahan mereka yang tidak begitu manis. Dia hanya ingin Kalin bahagia walau mungkin caranya salah. Dia bukan suami idaman yang akan menanyakan kepada isterinya apa yang bisa dilakukannya ketika isterinya menginginkan sesuatu.

            Absurd. Benar-benar absurd.

            “Lupakan dia.”

            Erwin sudah berulangkali meminta Arun untuk melupakan adiknya. Adik tirinya yang hingga saat ini masih terus membebani pikiran Arun.

            “Belum bisa, Win.”

            “Kamu sudah punya Kalin dalam hidupmu. Kenapa sulit membuat dirimu bahagia?”

            Arun mengusap tengkuknya. “Karena aku, Ambar seperti itu sekarang.”

            “Hei. Aku sudah bilang, jangan risaukan lagi hal itu. Keluarga kami juga sudah pasrah soal Ambar. Lagipula sampai kapan kamu mau membebani pikiranmu? Jangan sampai Kalin menderita karena sikapmu yang seperti ini.”

              Arun berbalik, menatap pintu yang setengah tertutup di belakangnya. Mengingat tentang Kalin dan kehidupan mereka.

            Tidak seharusnya dia melibatkan orang lain dalam kesusahan hidupnya. Tidak siapapun, termasuk Kalin.

Kalin mengetik halaman pertama novelnya. Bingung menentukan adegan apa yang jika dibaca akan langsung mendapatkan perhatian pembaca. Dia tergelak sendiri membaca kata-kata yang sudah diketik. Kata-katanya aneh. Entahlah, mengapa setiap dia berniat menulis sesuatu yang manis dan romantis, hasilnya malah berbeda.

            Pintu kamar diketuk. Kalin memutar kepala setelah mempersilahkan siapapun yang mengetuk untuk masuk. Dia membeku, terpana saat Arun membuka pintu. Tapi selama masa pemulihan jasmani dan perasaan, Kalin masih bersikap dingin. Walau dalam hati dia sudah memaafkan.

            “Mau ikut ke kota?”Arun menutup pintu di belakangnya.

            Kalin melepaskan kacamata yang selalu dipakainya ketika sedang mengetik di Macbook miliknya. Matanya mengikuti sampai Arun menarik kursi dan duduk di dekat meja. “Mau ngapain?”

            “Jalan-jalan.”Arun menjawab. “Ada teman yang mengajak ketemu. Dia sempat datang waktu resepsi. Namanya Erwin.”Arun memandangi langit-langit, tirai, dinding, sebelum kembali menatap Kalin. “gimana? Mau ikut?”

            “Boleh. Tapi, kita makan siang di mana?” tanya Kalin dengan keriangan yang mulai menghidupkan lagi semangatnya.

            “Di rumah Erwin.”

            Kalin menutup Macbook dengan hati-hati lalu memasukkannya ke dalam tas batik. “Kalo gitu, ayo. Tapi aku ganti baju dulu ya?”

            Arun mengangguk. “Saya tunggu di depan.”

            Mobil yang dikendalikan Arun menyisir jalanan yang lengang. Mereka sedang berada di kawasan hutan lindung, kata Arun mereka akan sampai sekitar sepuluh menit lagi.

            “Saya nggak minta kamu berubah menjadi pendiam, Kalin.” Arun menyentakkan keheningan yang tercipta dalam atmosfir di dalam mobil.

            “Aku cuma nggak mau bikin kamu kesal.” Kalin menjawab sambil memandangi tanah rendah di sisi kiri jalan yang ditumbuhi pepohonan. Dia bergidik membayangkan jika ada kendaraan yang sampai terguling ke bawah.

Heaven In Your Eyes (Completed)Where stories live. Discover now