Heaven in Your Eyes -33-

17.3K 1.5K 43
                                    

 "Iya. Sekarang."

Raga masih memandang wajah Kalin.

"Kamu baik-baik aja kan?"

"Aku baik-baik aja, Ga." Kalin balik memandang Raga sebelum menggumam akan kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang yang akan dibawa ke Jakarta.

Raga urung menanyakan jika mungkin saja ada masalah antara Kalin dengan suaminya. Kehidupan berumahtangga pasti tidak akan terhindar dari konflik. Tapi dia tidak bisa membiarkan jika Kalin menjalani pernikahan yang tidak bahagia dengan Arun. Mungkin terlalu prematur mengambil kesimpulan semacam itu. Tapi, jika memang Kalin tidak bahagia bersama Arun, dia akan dengan senang hati menawarkan kebahagiaan untuk Kalin.

"Aku bisa bantu apa?"

Raga mengikuti Kalin sampai di depan pintu kamar.

"Koperku mau diturunin. Satu aja. Gak banyak." Kalin menyandangkan Louis Vuitton monokrom di bahu kanannya.

Raga mengangguk. Sambil menarik koper, Raga bertanya kepada Kalin.

"Kamu udah kasih tau Arun?"

"Udah." Kalin berbohong.

"Yakin?" Raga bisa melihat kilatan kebohongan. Kalin bisa mendadak gugup jika berbohong. Raga sudah hapal bahasa tubuh Kalin.

"Ga, aku lagi nggak mau ditanyain. Kita jadi berangkat sekarang kan?"

"Oke." Raga tidak bertanya lagi.

***

Arun sudah tidak menghitung lagi berapa kali dia mencoba menghubungi Kalin. Nomer Kalin tidak aktif. Entah mengapa.

Sementara itu, Ambar sudah tertidur dengan ditemani Erwin yang duduk di dekat ranjang rumahsakit. Erwin meyakinkannya untuk tidak mengkhawatirkan soal Ambar. Ambar akan baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan.

Arun sudah hampir sampai di halaman vila. Ponselnya dimasukkan ke saku jaket sebelum memutar mobil memasuki halaman. Dia tahu firasatnya tidak nyaman sejak dalam perjalanan. Tentang Kalin, dia merasakan Kalin benar-benar marah padanya.

Bik Sumi membukakan pintu untuknya.

"Kalin mana, Bik?"

Pertanyaan itulah yang pertamakali ditanyakan Arun setelah menjejakkan kaki di ruang tamu.

Senyum di wajah Bik Sumi memudar.

"Lho? Bukannya Non Kalin udah pamit ke den Arun?"

"Pamit? Pamit ke mana, Bik?"

"Ng, Non Kalin ke Jakarta. Berangkatnya sekitar limabelas menit yang lalu."

Arun urung menggantung kunci mobil. Jaketnya pun urung dilepaskannya.

"Ke Jakarta?" Arun mencoba mengatur ekspresi wajahnya demi menghindari kecurigaan Bik Sumi. "Oh. Iya. Saya lupa, Bik. Baru ingat. Perginya sama siapa, Bik?"

"Sama mas Raga."

Arun mengangguk pelan. "Kalin nitip pesan atau apa?"

"Nggak ada, Den." Bik Sumi kemudian melongok ke halaman. Sebuah motor bebek berhenti. "Oh ya Den. Saya permisi dulu. Udah dijemput sama Asti." Bik Sumi menyebutkan nama anaknya.

Heaven In Your Eyes (Completed)Onde histórias criam vida. Descubra agora