Heaven In Your Eyes -Part 19-

9.8K 900 9
                                    

Hai haiii...setelah hiatus 2 bulan lebih, aku datang lagi... langsung 2 part ya. Happy reading!!



 "Besok kita pulangnya siang. Saya mau ke rumah bapak sama ibu." Arun merapikan bantal yang akan dipakainya untuk menyangga kepala.

            "Iya. Aku juga pengen ketemu bapak sama ibu kamu." Kalin mengiyakan. Rambutnya digerai sebelum meletakkan kepalanya di atas bantal. Dia senang karena hubungan mereka membaik. Daaan, Arun mengalah untuk tidak tidur di sofa.

            Tapi apakah itu berarti hubungan mereka bisa berlanjut ke tahap yang lebih...serius?

            "Arun. Ibu sama ayah nanyain soal cucu." Kalin mengingatkan.

            Arun yang sedang menatap langit-langit menggumam. "Saya tau."

            "Kapan?" tanya Kalin. "Apa kita akan ngelakuinnya di sini? Sekarang? Aku nggak keberatan."

            Arun menjawab dengan tegas. "Tidak."

            Kalin setengah membanting tubuhnya di dalam selimut. Sepertinya tidak ada gunanya membicarakan soal anak kepada Arun. Arun selalu menghindar dan semakin menjauh tanpa alasan. Walau mereka masih sepasang suami isteri, hubungan mereka sangat menyedihkan.

                                                                        ***

            "Boleh aku pinjam mobil kamu?" tanya Kalin ketika mereka memulai sarapan.

            "Kamu mau ke mana?" Arun balik bertanya.

"Aku mau ke kota. Mau belanja, ke salon. Mmm... jalan-jalan juga sih." Kalin ingin menambahkan bahwa dia ke kota karena bosan terus berada di rumah.

"Kuncinya di tempat biasa." Arun menjawab setelah selesai mengunyah potongan roti bakar berlapis selai nenas di dalam mulutnya. Tempat biasa yang dimaksudnya adalah di sebelah lemari pajangan di ruang tengah, tempat kunci ke dua mobilnya biasa diletakkan. Kalin sudah tahu.

"Kalau urusanku cepat selesai, aku pulang sore. Tapi kalau lama, mungkin aku akan pulang menjelang malam." Kalin menjelaskan.

"Bensinnya masih cukup untuk sampai ke kota, tapi setelah itu kamu harus mengisi bensinnya lagi."

"Ya, aku mengerti."

"Isinya di pom bensin." Arun mengunyah potongan roti lagi.

Kalin memutar bola matanya. Arun mungkin menganggapnya tidak tahu soal itu.

"Kadang SPBU yang ada di jalan lintas kabupaten kehabisan stok bensin. Usahakan mengisinya di kota. Dan full tank."

"Ya, ya. Ada pesan lain lagi?" Kalin mengunyah roti dengan fokus mata ke arah Arun yang lebih banyak memandangi piringnya.

"Saya akan memeriksa mobilnya."

Arun meneguk jus jeruk yang menjadi pilihannya untuk sarapan, dan beralih meninggalkan ruang makan menuju garasi. Kalin mengikutinya untuk melihat apa yang bisa Arun lakukan untuknya.

Sedan hitam keluaran tahun 90-an. Not bad, pikir Kalin.

Tidak ada cat yang terkelupas. Spionnya masih bagus. Ke empat bannya juga kelihatan baru. Ya, dan suara mesinnya juga halus. Hanya ada sedikit debu yang menempel di permukaan cat hitamnya. Kalin mencoba tersenyum. Not bad. Ya seperti itulah.

Namun Kalin mengharapkan jenis mobil yang lebih baru. Seperti BMW miliknya yang tersimpan rapi di garasi rumahnya di Jakarta. Atau paling tidak, jenis Volvo seperti yang dikendarai Edward Cullen. Atau VW Beetle yang klasik juga boleh.

Heaven In Your Eyes (Completed)Where stories live. Discover now