Heaven In Your Eyes -5-

16.4K 1.3K 17
                                    

Kalin mengikuti langkah Arun menuju kamar utama.

Dia tidak akan lupa malam pertama mereka di kamarnya yang disulap menjadi kamar pengantin ketika Arun lebih memilih tidur di sofa. Mengabaikannya yang saat itu bahkan sudah bersiap-siap melakukan kewajibannya sebagai seorang isteri. Wajah Kalin langsung memerah jika mengingat malam pertama mereka yang gagal.

            “Saya sudah siapkan lemari untuk pakaian kamu.” Arun mengikuti Kalin yang memasuki kamar sambil menyeret koper.

            “Terimakasih.” Kalin tersenyum tipis. Sambil mengeluarkan isi kopernya, Kalin mendengarkan satu-persatu aturan yang ditetapkan Arun, kalau saja ada aturan tentang pembagian wilayah dalam lemari. Mereka memang tidur di kamar terpisah, namun lemari mereka terletak pada satu tempat yang sama.

            Lemari untuknya dan Arun terletak dalam sebuah kamar berukuran kecil. Tidak hanya lemari geser dan tempat menggantung baju. Di dalam ruangan itu juga terdapat lemari tas dan lemari sepatu. Tempat Kalin akan mengatur sepatu-sepatu kesayangannya yang hampir semuanya diboyong ke sana.

            “Arun, kamu mau ke mana?” tanya Kalin ketika Arun keluar dari ruang penyimpanan itu.

            Arun berbalik. “Mau mandi.”

            Kalin mengangguk, menatap sekilas di sela antara pintu dan bingkai ruang penyimpanan. Mengamati Arun sedang menanggalkan kemeja. Sesuatu yang mengingatkannya tentang malam pertama mereka.

                                                                        ***

            “Kamu udah mau tidur?” Kalin menarik-narik ujung piyama sutranya yang tipis dan berwarna putih.

            “Mm.”

            “Kamu masih capek?” Kalin melepaskan ikatan piyamanya dengan pelan-pelan, dia hampir tidak bernapas ketika sudah sampai di tepi tempat tidur.

            “Saya tidur di sofa saja.” Arun tersenyum asimetris, lalu meraup bantal dan guling dengan dua tangannya.

            “Tapi…” Kalin menurunkan piyamanya. Satu tahapan yang seumur hidup tidak pernah dilakukan sebelumnya di depan laki-laki. Arun akan menjadi pengalaman pertamanya. Namun ia belum yakin hasilnya akan baik atau buruk.

            “Ini sudah lewat tengah malam.” Arun menuding ke arah jam yang tertempel di dinding. Siapapun tahu kalau jarum jam pendek menunjuk angka 1 menandakan  pergerakan waktu sudah beranjak melewati malam.

            “Aku belum selesai.” Kalin menunduk memandangi lingerie merah yang dikenakannya di dalam piyama.

            “Pergilah tidur.” Arun bahkan tidak menatapnya lagi. Arun mengangkat kembali bantal dan guling. “kamu nggak perlu repot-repot menggoda saya. Saya akan bilang kapan saya butuh kamu. Yang pasti bukan malam ini.”

Wajah Kalin sudah memerah seperti kepiting rebus. Dia tidak bisa menyimpulkan dari tatapan Arun, apakah laki-laki itu menyukainya dalam pakaian seminim itu. Tapi Arun sudah menolaknya, dan Kalin tidak bisa menuntut. Lagipula dia hanya mendengarkan saran Stella untuk bersikap agresif karena sepertinya Arun tidak menunjukkan inisiatif untuk menyentuhnya malam itu. Malam yang menurut cerita orang begitu indah dan tidak terlupakan. Rasanya seperti di surga.

Kalin mulai berpikir-pikir di mana letak surga yang orang-orang katakan, sementara dia sudah merasa penolakan Arun membuat perasaannya berguncang seperti diguncang gempa.

“Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan.” Kalin mengikat kembali piyama sutranya dengan ikatan yang lebih kencang.

            Arun yang tengah berbaring di sofa menyahut pelan. “Matikan lampunya. Tidur dengan lampu menyala bukan kebiasaan sehat.”

            Kalin membanting duduknya di tepi tempat tidur.

            “Kamu dengar?”

            Kalin menjawab. “Iya. Tunggu sebentar!”

            Setelah kamar pengantin hanya diterangi lampu tidur, satu-satunya sumber penerangan yang diletakkan di atas nakas, Kalin merapatkan selimut. Dia tahu tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Perkataan Arun sudah cukup menjadi mimpi buruk baginya.

            Goodnight, Kalin. Selamat menempuh hidup baru.

                                                                        ***

            Daun-daun pinus bergoyang oleh tiupan angin. Strobilus jantan dan betina tumbuhan yang tergolong Gymnospermae tersebut jatuh berserakan di atas permukaan tanah di sekitar pohon. Kalin memunguti beberapa strobilus yang masih bagus lalu mengantunginya.

            “Habis ini, mau ke mana lagi, Non?” tanya Mang Usep, penjaga villa yang kini ditempati Kalin bersama Arun. Dia sudah mengabdikan sepuluh tahun hidupnya bekerja di perkebunan teh sebagai mandor yang kemudian diberi tugas menjaga dan memelihara villa.

            “Mm, kayaknya langsung pulang aja, Mang. Aku kan harus ngurusin suami. Mau nyiapin makanan.” Kalin tersenyum. Topi kupluk dari bahan rajut menutupi kepalanya. Rambutnya digerai begitu saja. Dia merapatkan coat hitam yang dibelinya setelah mendapat kepastian bahwa setelah menikah dia dan Arun akan tinggal di Puncak.

            “Wah gitu ya kalo pengantin baru. Perhatian.” Mang Usep mengikuti langkah Kalin yang terhenti karena memunguti strobilus yang besar. Dimasukkannya lagi ke dalam saku coatnya yang menjadi wadah.

            “Iya, Mang. Harus itu.” Kalin tersenyum pahit. Dia melihat jam tangan Dior miliknya. Sekarang sudah jam 10. Dia harus cepat sampai di villa.

            “Tapi kan ada Bik Sumi, Non?”

            Seingat Mang Usep, memasak bukan menjadi keahlian Kalin. Tapi mungkin saja Kalin memang sudah belajar memasak sebelum menikah. Jadi kemungkinan sudah banyak masakan yang bisa dipraktikkannya untuk Arun.

            “Aku kan cuma mau nyiapin, Mang. Tetap Bik Sumi yang masak.” Kalin tertawa pelan. 

Heaven In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang