Heaven in Your Eyes -36-

29.7K 1.6K 64
                                    

"Kal, bukan begitu."

"Udahlah, Run. Ini udah malam banget. Aku mau istirahat. Besok saja kita bicara lagi."

***

Kamu dan keluargamu membohongi aku dan keluargaku.

Kenyataan itu yang mungkin akan membuat hubungan mereka akan menjadi semakin memburuk. Kalin berhak marah. Namun saat membuat keputusan, Arun benar-benar tidak berpikir terlalu jauh. Dia hanya menerima saran dari kedua orangtuanya untuk segera menikah dan melepaskan masa lalu. Dan kini ketika masa lalu kembali ketika Ambar tersadar dari koma, dia menjadi serba salah. Kini keadaan berbalik. Berbalik menohoknya, memposisikannya dalam keadaan sulit. Membuatnya tersudut. Tidak ada yang pernah mudah mengambil keputusan dalam situasi seperti itu.

Semalaman itu, mungkin kurang dari sejam Arun bisa terlelap. Hanya sejam. Matanya perih, pikirannya penuh.

Tentang pernikahan yang mungkin akan berakhir. Dia akan kehilangan Kalin dan buah hati mereka. Dia akan kembali menjadi seorang laki-laki yang hidup dalam kungkungan masa lalu, sedangkan dia bisa bahagia dengan Kalin.

Kalin adalah mataharinya. Sekuat tenaga dia pernah menolak Kalin dalam hidupnya. Namun Kalin selalu bersabar menghadapinya. Kalin selalu ada di sisinya. Seperti bebal. Padahal jika Kalin mau, Kalin bisa saja memilih laki-laki lain yang jauh lebih baik darinya. Laki-laki yang bisa membuatnya bahagia. Bukan laki-laki yang selalu membuatnya bersedih.

"Aku sudah siap mendengarkan apa yang ingin kamu katakan sama aku."

Kalin memilih tetap duduk di meja makan setelah mereka selesai sarapan. Sarapan pagi itu berlalu tanpa kata-kata. Walau sesekali Arun hendak bicara dengannya, namun akhirnya Arun pun memilih diam.

Berbulan-bulan di awal pernikahan mereka, sarapan yang jauh dari kesan riuh, diselingi dentingan sendok beradu dengan piring atau mangkuk, atau gelas, celotehan Kalin seorang diri dan Arun yang menanggapi dengan dingin. Kini keadaannya tidak lebih baik, bahkan mungkin lebih buruk. Karena Kalin memilih diam, Arun pun begitu. Menit demi menit terasa begitu lama. Beku. Hingga akhirnya Kalin menyerah dan bicara.

"Aku hanya ingin yang terbaik untuk pernikahan kita," kata Arun, akhirnya. Seperti sebuah kesimpulan. Sebuah pernyataan sikap setelah permintaan maaf berkali-kali.

"Maksud kamu?"

"Aku ingin mempertahankan pernikahan."

Di balik sikapnya yang selama ini terlihat seolah-olah memilih Ambar, jauh di dalam lubuk hatinya, dia memilih Kalin. Sebab bagaimanapun komitmen pernikahan lebih kuat dari apapun.

Tapi jika Kalin memilih jalan lain, jika Kalin menganggap lebih baik mereka tidak bersama, dia tidak akan mengekang Kalin.

Hanya saja jika dia bisa berharap, atau jika memang masih ada harapan untuk mereka...

"Apakah kamu mencintai aku, Run?" tanya Kalin tiba-tiba. Setelah apa yang terjadi dalam pernikahan mereka, pengungkapan atas rahasia-rahasia yang selama ini disembunyikan Arun, dia semakin tidak yakin dengan hubungan mereka.

"Aku mencintai kamu," jawab Arun. "Kenapa kamu menanyakan soal itu?"

"Kenapa aku ragu, Run?" Kalin menelan ludah. "Kenapa aku nggak yakin tentang perasaan kamu?"

"Kalin. Aku mencintai kamu."

"Ambar? Kamu masih cinta sama dia?" Kalin kembali bertanya, enggan mempedulikan Arun yang balik bertanya. "Tentu saja kamu pasti masih cinta sama dia." Kalin lalu menjawabnya sendiri.

Heaven In Your Eyes (Completed)Where stories live. Discover now