Heaven In Your Eyes -part 24-

18.3K 1.4K 29
                                    

Kalin membuka ke dua matanya yang sempat terpejam. Berusaha untuk tidur sejak sejam lalu hanya membuang waktu saja.

Bosan. Bosan. Daan bosan.

Jadi ketika kantuk yang ditunggu tidak kunjung datang, Kalin pun membatalkan niatnya untuk tidur siang. Dia harus mencari aktivitas berarti, sekalipun itu berarti kembali menonton TV, atau mengobrol dengan sahabat-sahabatnya melalui telepon.

Kalin menutup pintu kamar di belakangnya, bermaksud turun ke bawah. Namun terlintas di pikirannya untuk melanjutkan pencarian harta karun di salah satu kamar yang terletak di lantai tersebut. Kamar berdebu yang menyimpan barang-barang peninggalan Arun di masa lalu.

Dia bergidik karena dingin. Jujur, hawa kamar yang jarang terbuka itu benar-benar tidak mengenakkan. Apek, suram. Jadi, Kalin beralih ke jendela untuk membukanya. Pintu kamar pun dibuka selebar-lebarnya.

Dua buah kardus yang sempat dibongkarnya beberapa bulan lalu ternyata sudah kembali dirapikan oleh Bik Sumi. Kalin menandai kardus tersebut. Tangannya bergerak hati-hati membuka sebuah kardus berukuran cukup besar. Kalin terbatuk-batuk, sejenak merutuk mengapa tadinya dia tidak mengambil tissue atau masker.

Ketika kardus berdebu di hadapannya terbuka, Kalin langsung menemukan tumpukan buku-buku kuliah yang ditebaknya adalah milik Arun. Diktat-diktat tebal sungguh tidak menarik perhatian, jadi dia beralih ke kardus lain yang lebih kecil.

Kalin hampir membatalkan niatnya untuk berburu harta karun ketika tangannya mengaduk-aduk isi kardus. Koran, majalah, bahkan brosur kredit motor ada di sana.

"Kenapa nggak dibuang aja sih?" Kalin berdecak, sambil terus mengeluarkan kertas-kertas yang menghuni kardus.

Hingga sebuah benda, tepatnya bundelan tipis yang diikat dengan tali plastik berwarna putih menarik perhatiannya. Mudah saja membuka talinya yang tersimpul pita.

Sebuah undangan berwarna marun tanpa alamat. Ada inisial huruf A & A di sampulnya.

Kalin berasumsi, undangan tersebut milik Ares, kakak Arun.

Dibukanya dengan pelan-pelan, undangan karton tebal berwarna marun dengan aksen gold dari dalam amplop.

Dan hanya butuh beberapa detik baginya untuk mengetahui nama-nama yang tertera di dalamnya.

"Arundaya Agyana dan Ambar Intania Harsono,"

Kalin tidak perlu mengucek mata untuk meyakinkan dirinya bahwa ada nama Arun dalam undangan tersebut. Bukan sebagai pihak keluarga mempelai, tapi namanya tertera jelas sebagai mempelai pria. Kalin bukan anak kecil yang tidak paham tentang hal tersebut.

Tidak hanya undangan. Dua lembar foto pre wedding berlatar kebun teh, semakin menambah sesak. Tidak mungkin hanya coba-coba. Undangan, foto, ditambah secarik kertas berisi list undangan, sudah cukup menjelaskan kepada Kalin.

Tentang masa lalu Arun. Tentang rahasia yang selama ini tidak pernah dikatakan padanya. Bahkan keluarga Arun pun merahasiakan hal tersebut.

Dia benar-benar merasa tertipu.

***

Kalin menahan diri untuk tidak menghubungi ke dua orangtuanya untuk mengonfirmasi. Sampai Arun kembali pun, Kalin masih belum menanyakan tentang temuannya di kamar, siang tadi.

Arun seperti biasa. Mandi, berganti pakaian dengan kaus pendek, mengobrol singkat dengannya sambil menunggu makan malam tiba.

Apakah lebih baik ditanyakannya saja?

Tapi bagaimana cara menanyakannya?

Arun bisa saja marah dan memintanya untuk tidak membahas hal tersebut.

Atau Arun mengakui masa lalunya, dan mereka akan kembali rukun seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam rumahtangga mereka.

Lagipula semua orang memiliki masa lalu. Semestinya dia bisa memaklumi.

***

Sudah berlalu seminggu. Dalam jangka waktu tersebut, Kalin mencoba menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Meskipun batinnya selalu bertanya. Meskipun posisinya sebagai seorang isteri sedang dipertaruhkan.

Tapi jika dia diam saja, bukankah pertanyaan tersebut akan dibiarkan tanpa jawaban?

"Arun." Kalin memanggilnya.

"Hmm," Arun sedang bersantai membaca suratkabar.

"Aku mau nanya sesuatu sama kamu." Kalin meletakkan undangan berikut foto yang ditemukannya minggu lalu. "Aku nemuin ini di kamar gudang,"

Arun masih memusatkan pandangannya pada halaman bisnis yang selalu menjadi topik berita yang disukainya.

"Nemuin apa?" tanya Arun.

Kalin pelan-pelan menyentuh lengan Arun dan menurunkan suratkabar tersebut dengan satu gerakan halus. Arun mengikuti ke mana arah pandangan Kalin berhenti.

"Undangan..."

Arun langsung terdiam. Menyaksikan benda-benda yang seharusnya dimusnahkannya sejak dulu, tapi lebih dipilihnya untuk disimpan. Untuk sekedar mengingatkan, bahwa ada fase penting dalam hidup yang terlewatkan karena sebuah kejadian luar biasa.

Bagaimana Kalin bisa menemukannya?

"Kamu pernah berencana nikah dengan perempuan lain sebelum sama aku?" tanya Kalin dengan tatapan penuh selidik. Walau begitu, suaranya terdengar begitu lemah.

"Itu hanya masa lalu." Arun menjawab, masih dengan perasaan terkejut.

"Tapi kenapa kamu nggak pernah bilang soal ini?" Suara Kalin terdengar semakin kehilangan keceriaannya. Bahkan kini terdengar gemetar.

"Maaf, tapi saya lebih suka menyimpan masa lalu tanpa harus dikatakan kepada orang lain,"

Kalin tanpa menunggu sedetik lebih lama, menyahut. "Aku bukan orang lain, Run. Aku isteri kamu."

"Kalin, saya rasa sudah cukup kita membicarakan soal ini," Arun meletakkan lembaran suratkabar di tangannya ke atas meja. "Saya hanya bisa minta maaf ke kamu karena tidak pernah memberitahu kamu. Tapi, untuk saat ini, saya hanya punya kamu."

"Yakinkan aku, Run. Yakinkan aku kalau kamu hanya punya aku dalam hidup kamu. Sebagai perempuan yang kamu sayangi."

Ucapan Kalin terdengar emosional.

"Kalin, saya sama kamu sudah terikat pernikahan. Saya rasa itu sudah cukup menjadi jawaban."

Kalin menggeleng. "Nggak, Run. Selama sikap kamu masih seperti sekarang, aku masih ragu. Aku tulus cinta sama kamu. Aku meletakkan semua harapanku sama kamu dan pernikahan kita. Tapi kalau hanya untuk mengakui kalau kamu cinta sama aku sesulit ini, bagaimana aku bisa yakin tentang rasa sayang kamu?"

Arun tidak pernah melihat Kalin menangis. Tapi apa yang dilihatnya sekarang, benar-benar miris. Kalin menangis di hadapannya.

"Kalin,"

Kalin tidak lagi menjawab.

Arun bergeming ketika Kalin memilih menyudahi pembicaraan mereka dengan bergegas menaiki tangga menuju kamar mereka.

Arun tidak membuang waktu dan lekas menyusul Kalin. Saat memasuki kamar, Kalin sudah berbaring telungkup dengan kepala disangga bantal.

Untuk pertamakalinya selama pernikahan mereka, Arun didudukkan pada posisi di mana dia harus jujur. Tentang masa lalu, tentang apa yang dirasakannya kepada Kalin.

Dia tidak tahu apakah perasaannya sepenuhnya telah tertuju kepada Kalin. Namun melihat selama sebulan ini, hubungan mereka semakin dekat, dia mulai merasa menemukan ketenangan. Dia merasa nyaman bersama Kalin. Namun untuk menegaskan tentang perasaannya dia belum siap.

Kalin mencintainya. Dia bisa merasakan hal itu, sekalipun Kalin tidak mengatakannya. Namun mendengarnya sendiri dari mulut isterinya, membuat batinnya bahagia sekaligus gelisah. Kalin memberinya begitu banyak. Cinta, kasih sayang, perhatian.

Sedangkan apa yang bisa diberikannya? Sikap kaku, dingin, tidak romantis? Ditambah dengan kenyataan bahwa dia menyembunyikan masa lalunya dari Kalin. Kalau Kalin saja bisa jujur tentang Raga, mengapa dia masih begitu berahasia tentang Ambar?


Heaven In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang