Heaven In Your Eyes -Part 29-

11.9K 1K 28
                                    



Kalin sudah bersepakat untuk ikut menjenguk Ambar yang sudah sadar. Bersama Arun, sore itu. Ketika matahari masih menampakkan sinar yang semakin meredup. Mereka kembali ke rumah Ambar, menunjukkan simpati. Kalin memang tidak mengenal Ambar. Tapi, Arun mengenalnya.

"Keadaan Ambar sudah semakin membaik. Kami hanya perlu menunggu perkembangan kondisi kesehatannya."

Erwin, kakak Ambar sekaligus sahabat Arun selalu menerima kedatangan mereka dengan baik.

Satu hal yang belum diketahui Kalin hingga kini, yaitu tentang kejadian di masa lalu antara Arun dan Ambar. Tepatnya sebuah kecelakaan yang katanya disebabkan oleh Arun dan menyebabkan Ambar sempat koma.

"Kejadiannya terlalu cepat. Kami sempat bertengkar, lalu Ambar pergi begitu saja. Membawa mobil dalam keadaan marah. Tidak berapa lama, kami mendengar kecelakaan Ambar."

Pandangan Arun terhenti padanya. Dalam suasana sesuram ini, Kalin berusaha menghiburnya. Begitupun Erwin.

"Dengar, Run. Kami nggak pernah menyalahkan kamu soal kecelakaan itu."

Kecelakaan itu telah menyebabkan pernikahan mereka batal. Bagaimana mungkin Erwin dan keluarganya tidak menyalahkan Arun? Kalin tidak mengerti akan hal itu. Apakah keluarga besar Ambar tidak menyimpan dendam sedikitpun kepada Arun?

"Aku tetap merasa bersalah." Arun menegaskan sekali lagi. "Aku harus minta maaf."

Melihat sikap Arun, sepertinya Kalin membutuhkan penjelasan lebih lanjut dari Erwin. Tapi dia harus menanyakan kepada Erwin tanpa sepengetahuan Arun. Kalin tidak akan berpindah jejak selangkah pun dari masalah ini sebelum benar-benar jelas.

***

Saat akan mengonfirmasi tentang kecelakaan Ambar empat tahun yang lalu, Erwin tanpa ragu menceritakannya. Dimulai dari hubungan Arun dan Ambar yang terjalin selama tiga tahun, rencana pernikahan mereka yang sudah sampai tahap akhir, dan kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa Ambar.

Erwin sendiri tidak heran mengapa Arun tidak menceritakannya sendiri kepada Kalin.

"Arun sangat tertutup soal ini. Tapi kupikir, kamu harus tahu. Jadi memang sudah tepat kamu menanyakan hal ini kepadaku."

"Kamu kan kakaknya Ambar. Kenapa kamu menceritakan hal ini sama aku?"

Erwin tersenyum. "Aku memang kakaknya, Kalin. Tapi, dalam beberapa hal kami sering bertentangan. Ambar terlalu posesif dan kupikir hal itu tidak baik untuk hubungan mereka. Arun begitu baik dan penyabar. Bahkan dia tetap melamar Ambar sekalipun Ambar sering membuatnya kesal."

"Begitu ya?"

"Jangan khawatir tentang Ambar. Sedikit-sedikit aku yang akan menjelaskan bahwa kamu sudah menikah dengan Arun. Tapi, Ambar sedang dalam masa pemulihan. Kami tahu ini tidak akan mudah. Butuh waktu berbulan-bulan sampai Ambar kembali pulih. Jadi, aku rasa aku nggak punya waktu menjelaskan tentang Arun."

Kalin termenung.

Jika sifat Ambar seperti itu, bukan tidak mungkin Ambar akan menuntut pertanggungjawaban Arun. Masa pemulihannya memang masih sangat lama, tapi bukan berarti Ambar lupa dengan Arun, bukan?

"Apa nggak sebaiknya aku saja yang bicara padanya?"

"Tidak. Aku bisa yakinkan, dia tidak akan banyak bertanya soal Arun."

Erwin meyakinkannya sekali lagi.

"Jangan terlalu cemas, Kalin. Dan selalu damping Arun. Dia benar-benar sulit melepaskan traumanya terhadap kecelakaan Ambar."

"Baik. Kalau begitu, aku permisi dulu."

***

Sampai di rumah, Kalin bergegas menuju dapur. Secangkir teh hangat mungkin cukup berguna untuk merilekskan pikiran. Setiap pikirannya suntuk sewaktu masih tinggal di Jakarta, dia bisa segera angkat kaki ke rumah salah satu sahabatnya. Dan mereka akan mulai merencanakan hang out atau menyusun jadwal liburan.

Tapi di sini? Jika sedang kesal atau sekedar bosan, dia hanya bisa melarikan pikirannya ke aktivitas-aktivitas yang dilakukannya seorang diri. Minum teh, menonton TV, jalan-jalan di sekitar villa, atau jika cukup beruntung, dia bisa mengajak bik Sumi mengobrol jika kebetulan bik Sumi ada di sana.

Teh chamomile dihirupnya pelan. Aroma wangi, juga rasa khasnya lumayan mengurangi kepenatan pikiran.

Bohong. Itu hanya sugestinya saja. Karena kini dia merasa pikiran kusutnya tidak banyak berubah.

Kalin mendesah panjang, Resiko memiliki suami dengan kepribadian tertutup seperti Arun.




hehehe...maaf ya updatenya secuil. Mudah2an besok bisa ngepost yang lebih panjang. terimakasih buat yang sudah vote + comment. Doain ya naskah ini cepat kelar :)



Heaven In Your Eyes (Completed)Where stories live. Discover now