Heaven In Your Eyes -10-

16.6K 1.3K 2
                                    

Kalin mengerjapkan mata, berjuang untuk tidak membalikkan badan, menyingkap selimut dan tersenyum kepada Arun yang sudah berbaik hati mengantarkan sarapan ke kamarnya. Arun meletakkan nampan berisi mangkuk, potongan buah di atas sebuah piring lebar, segelas jus jeruk dan segelas air putih. Nampan yang sudah sering bolak-balik di setiap jam makan tersebut diletakkan di atas nakas, tempat yang sering dilirik Kalin, berharap dia menemukan makanan kesukaannya seperti pizza dan burger. Atau donat bertabur kacang dan cokelat.

            Hatinya masih menyimpan kemarahan, walau kadarnya tidak sebesar malam di mana Arun memarahinya. Hati Kalin cepat memaafkan untuk sikap Arun. Hanya saja untuk saat ini, dia ingin menyembuhkan hatinya, tanpa serpihan rasa marah dan kesal kepada Arun.

            “Saya minta maaf, Kalin.”

            Suara Arun terdengar tulus. Kalin tidak bisa tidak tersentuh mendengarnya. Membayangkan wajah dingin Arun yang berubah memelas malah membuat Kalin ingin tersenyum. Tapi tersenyum di hadapan Arun bukan pilihan tepat jika dia ingin tetap mempertahankan sikapnya. Agar Arun tahu kalau dia benar-benar marah, dan Arun tidak bisa terus bersikap semaunya kepada Kalin.

            “Kamu mau saya bagaimana supaya kamu mau memaafkan saya?”

            Kalin merasakan pipinya memanas. Ini lebih buruk dari yang dibayangkan. Arun membuat penolakannya jauh lebih sulit dari yang dibayangkan.

            “Kalin.”

            Kalin mengerjapkan mata, lalu menutup kelopak matanya dengan susah payah. Sekalipun kedua kelopak matanya telah tertutup, namun dia tidak berniat untuk tidur. Dia berharap Arun segera keluar dari kamar sebelum Kalin melemparkan tatapan tajam padanya.

            Akhirnya yang dilakukan Arun hanya merapatkan selimut yang dipakai Kalin dan mengusap rambut Kalin dengan teramat lembut. Saat itu Kalin merasakan kulitnya meremang. Dia ingin merasakan sentuhan itu dengan penuh penghayatan. Tapi tidak untuk saat itu.

            Tidak sama sekali.

            Dan ketika Arun menutup pintu, meninggalkannya seorang diri lagi, Kalin kembali membuka kelopak matanya. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.

            Di dalam kamar mandi, Kalin mengetes suhu air yang akan dipakainya mandi. Dari ujung telunjuknya menetes setetes air hangat. Cukup hangat untuk mandi pertamanya setelah beberapa hari sakit.

            Arun sudah berangkat kerja. Dia yakin.

            Kalin menyandarkan punggungnya di dinding bathtub keramik putih. tubuhnya melorot di dalamnya. Rasanya benar-benar segar. Tubuhnya yang lengket oleh keringat selama beberapa hari ini, terbayar oleh sentuhan air hangat. Rasanya dia ingin berlama-lama berendam.

            Diambilnya sabun cair di pinggiran bathtub dan menuangkan isinya ke permukaan telapak tangannya.

            Tiba-tiba terdengar ketukan dari arah pintu disusul suara yang tanpa perlu menajamkan telinga dia yakin kalau yang datang itu adalah Arun.

            Bukannya dia sudah pergi tadi?

            Kalin menghentikan sementara kegiatan mandinya, memakai handuk dan membuka pintu dengan sedikit celah di mana dia memunculkan wajahnya. Wajah Arun membeku dalam beberapa detik sebelum akhirnya bersuara.

            “Ponselku ketinggalan di dalam.”

            Raut wajah Arun yang datar begitupun suaranya hanya ditanggapi Kalin dengan anggukan pelan. Kalin merapatkan pintu kemudian berbalik ke arah kamar mandi dan segera menemukan ponsel Arun di pinggiran wastafel. Diambilnya segera ponsel itu dan cepat-cepat menyerahkannya melalui celah pintu.

            “Kamu lagi mandi ya?”

            Pertanyaan Arun yang tentu saja hanya basa-basi lagi-lagi hanya dijawab Kalin dengan anggukan. Kalin belum sempat membilas tangannya yang licin oleh air sabun ketika berendam tadi. Arun menunduk, mengambil ponselnya yang dimasukkan ke dalam saku celana kargonya.

            Arun terlihat hendak mengatakan sesuatu, namun urung. Sebagai gantinya, dia tersenyum tipis  yang menunjukkan sisi ke dua matanya mengerut dan kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.

            “Saya senang kamu sudah sembuh.” Arun melanjutkannya dengan kata pamit, juga pemberitahuan kalau dia akan pulang ketika waktu makan siang.

            Kalin tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Arun berbaik hati menghadiahinya senyum tulus di balik pintu kamar mandi. Bukannya tidak senang dengan sikap Arun yang jadi lebih manis. Bukan merasa canggung pula. Hanya saja Kalin masih menyimpan kekesalan dengan sikap Arun sebelumnya. Dia tidak yakin Arun akan berubah menjadi suami idaman secepat itu.

            Sambil berendam, kali ini dengan senyum Arun yang masih terbayang, Kalin berpikir-pikir. Kalau Arun memang ingin berbaik-baik, dia tidak akan memberikan respon penerimaan yang terlalu cepat. Dia hanya harus mempelajari perkembangan dalam beberapa hari ini. Kalau Arun memang benar-benar menginginkan perdamaian, maka Arun hanya harus bersikap jauh lebih baik dari hanya sekedar senyuman manis. Oh, plus usapan lembut tangannya di rambut Kalin yang membuat bulu kuduk Kalin meremang.

            Bukan karena ketakutan. Bukan.

Heaven In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang