VII

10.2K 1.9K 174
                                    

happy reading. Semoga suka

==

"Nita? Annita?" aku masuk ke apartemennya. Nita sudah memberiku kartu akses dan nomor kombinasi pintu rumahnya sejak dia membeli apartemen tiga tahun lalu. aku menerobos masuk saat Nita tak membukakan pintu apartemennya untukku. Pikiranku sudah berkelana kemana-mana. Paranoid. Membayangkan bahwa Nita akan melakukan perbuatan yang akan membuatku menyesal seumur hidup.

Aku mengelilingi seluruh apartemen. Mencari ke semua ruangan hingga sudut-sudut terpencil di tempat ini, tapi batang hidung Nita tak tampak dimanapun ia berada. Jantungku berpacu was-was. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Nita bagaimana aku bisa memaafkan diriku?

Mataku sudah siap mengeluarkan tangis ketika terdengar suara pintu terbuka. Nita muncul dari baliknya, mengenakan celana pendek dan kaus. Rambutnya masih mengembang sempurna bak masih dalam pemotretan majalah bazaar. Ia membawa satu tas plastik hitam besar dan tangan satunya memegangi gelas kopi dari gerai ternama.

"Vanda?" Nita kaget melihatku yang langsung berlari ke arahnya kemudian memeluknya erat-erat, "Kenapa lo?" tanyanya yang masih dalam pelukanku.

"Gue pikir lo kenapa-napa karena diputusin si Galen. Lo bilang nggak bisa hidup tanpa Galen."

"Kapan gue bilang nggak bisa hidup tanpa dia?"

Aku tak menjawab tanyanya, melanjutkan ocehan untuk meluapkan kekhawatiranku, "Lo bahkan bilang, kalau Galen adalah satu-satunya pria yang bikin lo menginginkan pernikahan. Ingin punya banyak anak yang lucu sama dia."

"Nggak pernah bilang pengen punya banyak anak sama Galen," gerutunya lagi tapi masih belum berontak dalam pelukanku.

"Gue bakal hajar Galen karena berani-beraninya mutusin lo," tuturku dari dalam hati setelah melepaskan Nita dari pelukanku.

Bukannya mendukungku untuk menghajar Galen, Nita mundur beberapa langkah. Memerhatikan penampilanku dari atas sampai bawah, "Lo dari mana?"

Begitu mendapat kabar dari Nita bahwa Galen memutuskan dirinya, aku memang langsung pergi meninggalkan Gama di restoran sushi. Gama sempat menawariku untuk mengantar ke tempat Nita tapi aku menolak. Dia kusuruh untuk tetap tinggal menikmati makan malamnya dengan traktiran dariku.

"Habis dibelanjain Mas Gama, beli laptop," jawabku, "Gimana ceritanya kalian bisa putus? Wah, Galen benar-benar nggak tahu diri! Lo kenapa iya-iya saja sih diputusin? Harusnya lo tempelin dia. Bilang nggak mau. Bilang lo nggak bisa hidup tanpa dia."

"Mas Gama di Indonesia? Di sini? Sekarang?" Nita tak peduli pada kekhawatiranku karena ia dan Galen putus. Sahabat baikku ini malah berbinar-binar karena berita bahwa Gama pulang ke Indonesia.

"Lo nggak pengen curhat perkara Galen, Ta?" tanyaku hati-hati.

"Udah nggak ada jodohnya, Nda. Nggak usah bahas Galen ah," ia mengangkat tangannya yang memegangi tas plastik berukuran besar, "lo udah makan belum? Gue barusan order makanan banyak banget."

Aku mengambil kantung plastik yang dibawa Nita. Membawanya menuju meja dekat televisi berukuran 52 inci. Langsung menganga begitu melihat apa yang ada di dalam kantung besar itu.

"Bukannya lagi diet?" kataku sambil mengeluarkan semua makanan dari sana. rasanya ada lima belas makanan berbeda.

"Jadi kapan Mas Gama datang? Ceritain sedetail-detailnya ke gue," ucapnya tidak sabar sambil duduk di sampingku, "pas banget nggak sih, Nda, momennya? Pas gue diputusin Galen pas banget Mas Gama pulang. Jodoh nggak sih?"

Tanganku yang tengah memindahkan kotak kardus berisi makanan, menggantung di udara. Terperangah selama dua detik dengan pemikiran yang melesat di kepalaku seperti meteor jatuh. Entah kenapa aku mendadak menghubungkan Nita dengan Gama tentang pengakuan Gama beberapa hari lalu.

The Fool who Rocked my Worldحيث تعيش القصص. اكتشف الآن