XII

10.1K 1.8K 85
                                    

Selamat membaca❤❤❤

==

Aku bertolak pinggang, "Mana mungkin aku rela!" pekikku drama begitu Bude Puput pamit dan Gama diselamatkan Mama agar segera pergi dari sini karena takut Papa akan bertindak brutal. "Papa tahu 'kan gimana toksiknya kakak perempuan Papa? Mas Gama jadi mantu Bude Puput? NO WAY! Mama juga nggak bakal restuin kalau Mas Gama sama Aira. Iya kan, Ma?" aku mencari dukungan.

"Jadi tadi bohong? Kamu sama Gama sebenarnya nggak pacaran?" tanya Papa sekali lagi memastikan bahwa tak ada apa-apa di antara kami.

"Nggak pacaran. Macarin Mas Gama rasanya bakal kayak macarin Papa. Ew."

Penjelasan tentang perasaanku pada Gama langsung membuat berang Papa menguap pergi. Berbanding terbalik dengan Mama yang entah kenapa jadi tidak terima karena pengumuman bahwa kami pacaran ternyata sebuah kebohongan.

Perempuan itu merongrong hidupku tiap beberapa jam sekali. Mempertanyakan alasanku kenapa tidak mau dengan Gama. Membuat hari mingguku yang seharusnya berisi jadwal bermalas-malasan berubah jadi bencana.

"Nda." Mama muncul kembali di kamarku pagi ini. Mengganggu senin pagiku. Mengganggu acaraku bersolek genit.

"Nggak, Ma!" seruku langsung. Mulutku otomatis menolak, sudah membayangkan bahwa pembicaraan ini bersangkutan dengan aku dan Gama. Mengulang episode yang sama seperti kemarin.

Prasangkaku jadi kenyataan ketika Mama mendengus keras, "Apa sih kurangnya Gama?" Kan! Dia menggangguku dari sabtu malam sampai senin pagi hanya karena Gama.

Aku menutup kembali maskara yang akan kuaplikasikan ke bulu mata. Tubuhku yang semula menghadap cermin berputar ke arah Mama yang berdiri di ambang pintu, "Mama nggak ngerasa berdosa gitu, jodohin dua anak Mama?"

Perempuan yang usianya sudah kepala lima itu masuk ke kamar lalu duduk di ujung ranjang, "Dengan kenyataan kalian nggak ada hubungan darah sama sekali? Mama jelas nggak ngerasa berdosa. Kamu dan Gama nggak bakal punya mertua yang bikin stres. Bayangin kalau Gama sama Aira? Apa nggak jadi sapi perah Gamanya?" terang Mama, merujuk pada Bude Puput yang memang suka menindas kaum lemah. Nggak cuma memerah uang, tapi juga tenaga dan pikiran.

Aku mengembuskan napas perlahan, mengatur kadar marahku yang sudah sampai ubun-ubun sebelum menghadap Mama, "Ma, meskipun aku mau sama Mas Gama, Mas Gamanya nggak bakal mau sama aku," jelasku, "Mama tahu nggak kenapa Mas Gama beli rumah mewah?"

"Memang berencana mau beli buat persiapan rumah tangganya kelak."

"Mama tahu nggak siapa yang Mas Gama pengen jadi calon istri?"

"Memang sudah ada?" tanya Mama kaget, seakan Gama belum menceritakan sama sekali masalah percintaannya.

"Ada dong!"

"Siapa?"

"Nita," jawabku lalu kembali menghadap cermin. Bersolek kembali.

"Nita? Annita? Sahabat kamu?"

Aku mengangguk setelah selesai memakai maskara, "Sempurna nggak tuh? Nita cantik, mapan, sudah ada apartemen sendiri, Tante Alya bukan tipikal mama mertua rese, terus Mama cocok juga sama Tante Alya."

"Jadi Gama suka Nita? Sejak kapan?"

"Empat tahun lalu, pas di Singapura itu loh, Ma. Dia kan nyusulin Vanda. Terus Nita tinggal lebih lama di sana karena ada job. Aku curiga, Mas Gama mulai ada tanda-tanda suka pas sering temenin Nita di sana." Walaupun masih teori, tapi aku yakin bahwa si Tukang Ghosting adalah Nita.

"Padahal Gama adalah calon suami paling tepat buat kamu, Nda."

"Nanti Vanda bawain calon suami yang lebih baik dari Mas Gama," jawabku bersamaan dengan bayangan Galen yang melintas di pikiran. Aku bangkit meninggalkan tempatku bersolek sambil mengajak Mama meninggalkan kamar.

The Fool who Rocked my WorldWhere stories live. Discover now