XV

9K 1.6K 124
                                    


Selamat membaca

==

Ini gila!

Aku langsung menyambar tas begitu membaca pesan dari Galen pagi ini. tubuhku kaku di depan pintu begitu melihat siapa yang datang menjemputku pagi ini. Mobil Galen sudah ada di depan rumah, sementara pemiliknya sudah bersandar di pintu mobil. Ia bilang bahwa akan menemui kedua orang tuaku dan mengaku tengah suka setengah mati padaku.

Jelas itu langsung membuatku terburu-buru turun. Terpaksa ikut masuk ke dalam mobilnya sebelum ia mewujudkan kata-katanya. Menemui Ibu Rosalia. Bisa geger dunia persilatan kalau sampai Mama woro-woro ke Nita kalau pria bernama Galen menjemputku pagi-pagi.

Seperti kata-katanya di Senin malam, Galen menempeliku sejak pagi sampai jam lembur. Menjemput kerja dan mengantar pulang. Hanya di dua waktu aku bisa melarikan diri dari Galen. Yang pertama, waktu butuh ke toilet. Yang kedua, saat jam makan siang ketika Inez menghubungiku diam-diam hanya agar aku bisa menarik Gama untuk memakan bekal makan siang buatan Inez secara sembunyi-sembunyi di tangga darurat. Selain dua waktu itu, aku bisa melihat wajah Galen sepanjang waktu. sejak berangkat kerja sampai pulang.

Parahnya lagi, Galen tak sungkan-sungkan di depan Isa dan Bian. Apalagi saat sudah masuk jam lembur. Urat malunya putus. Galen sama sekali tak peduli dengan kesehatan jantungku. Semuanya makin tak terkendali di hari lembur terakhirku, saat Bian telah menghilang dari ruangan divisi pembelanjaan karena pekerjaannya telah usai sore tadi. meninggalkanku bertiga bersama Isa dan Galen.

"Udah resmi kalian?" tanya Isa sembari memasukkan makan malamnya ke mulut. Pekerjaannya sudah selesai lima belas menit yang lalu tapi ia tinggal. Memesan makan malam untuk kami bertiga. Galen sendiri yang memang tak punya lemburan hanya duduk di sampingku sambil memainkan gawainya.

"Tinggal nunggu Vanda bilang iya saja, Mbak," Galen yang menyahut sedangkan aku masih memindahkan angka-angka dari tumpukan kertas itu ke tabel di layar komputerku.

"Galen lagi edan seminggu ini, Mbak Isa. Nggak usah dengerin." Punggungku menegak begitu satu lembar nota belanjaan sukses masuk ke tabel. Memberikan tubuhku beberapa gerakan agar tidak pegal dan bisa melanjutkan pekerjaan yang tinggal beberapa lembar lagi.

"Tuh, Mbak Isa dengerin," lapor Galen pada makcomblangnya yang mendadak ikut berdedikasi akhir-akhir ini, "kurang apa coba gue? Vanda pernah bilang gue kayak sule, golden retriever, titisan Ben Grimm gara-gara keras kepala, sekarang dikatain edan. Segitu sayangnya gue sama dia, Mbak."

"Udah jadian saja. Nungguin apa sih? Toh di seluruh kantor kita semua pada mikir kalo kalian pacaran," terang Isa, mencoba meyakinkanku.

Sebenarnya hatiku sudah jumpalitan dan siap menerima Galen kalau dia akhirnya memproklamirkan ulang perasaannya padaku. Jangan mengataiku gelap mata. Toh, Galen dan Nita sudah putus. Nita sendiri ternyata baik-baik saja setelah ditinggalkan Galen. Aku hanya perlu bicara dengan sahabatku kalau hubunganku dengan Galen jadi serius. Yang namanya pacaran, kadang kan juga bisa putus.

"Nembak aja belum, gimana jadiannya?" tanyaku sambil bangkit dari kursi yang membuat Galen dan Isa melongo kompak.

"Ini maksudnya, lo bakal terima Galen kalau dia nembak lo lagi?" tanya Isa memastikan.

Aku tak memberinya jawaban, hanya menggoyang ponselku pada Isa sambil berjalan menjauh meninggalkan keduanya. Mama sedang meneleponku.

"Kenapa, Ma?"

"Kamu balik jam berapa? Mama, Papa, sama Gama sudah berangkat ini."

Sejak dua hari lalu Mama sibuk mengemasi beberapa hal untuk dibawa keluar kota. Adik perempuan Papa minggu ini memang menggelar acara pernikahan untuk putri pertamanya. Karena lemburku yang tak bisa ditunda, akhirnya Mama memutuskan berangkat tanpaku. Gama sendiri diseret ikut karena sedang senggang. Aku yakin, ikut sertanya Gama hanya untuk dipamerkan pada saudara-saudara Papa.

The Fool who Rocked my WorldWhere stories live. Discover now