XVIII

8.5K 2K 271
                                    

Tubuhku mematung menghadap cermin di kamar mandi Gama. Kejadiannya baru semenit lalu dan tetap saja, jantungku merasakan gelenyar aneh. Kalau sampai Gama tahu aku memikirkannya dengan cara yang berbeda, dia mungkin bisa mencelaku. Apalagi saat ini dia sedang jatuh cinta pada si Tukang Ghosting alias Nita.

Aku tersentak begitu ingat tentang si Tukang Ghosting. Betapa egoisnya aku sekarang ini. Aku datang pada Gama, meminta tolong agar dia mau pura-pura jadi pacarku tanpa ingat kalau Gama naksir sahabat baikku. Sama sekali tak terpikirkan perasaan Gama. Dia pasti sejak tadi pura-pura kuat. Karena Nita tak bisa melupakan Galen.

"Mas Gama...," aku berjalan cepat-cepat menuju ke ruang tamu di mana Gama baru saja selesai membayar pizza yang kupesan.

"Apa?"

Kedua tanganku mengular ke tangan Gama yang bebas dari kotak-kotak pizza. Menyampaikan simpatiku padanya.

"Kamu kenapa?"

Tanpa melepaskan diriku yang menggelayut di tangan Gama seperti anak monyet, kami sampai di dapur. Pertanyaan dari Gama tak terjawab saat kardus pizza terbuka. Bau khasnya membuatku langsung hilang ingatan.

"Enak, Pan?" tanya Gama setelah aku menghabiskan dua potong pizza sedangkan dia baru membuka kotak yang berisi menu black pepper chicken rice.

"Kenapa lagi?" tanyaku disela kunyahan. Sedangkan dua mataku mendelik padanya.

"Katanya lagi patah hati, nafsu makan masih bertahan?"

"Emang orang patah hati harus nggak doyan makan? Ada loh, Mas, kasus orang patah hati malah makannya banyak."

Gama tak menyahut, ia mengalihkan perhatian ke nasinya. Menyuap makan malamnya dengan sendok plastik yang dibawakan dari pengantaran makanan.

"Satu lagi bukti," kataku yang melihat Gama begitu lahap, "Mas Gama juga lahap makan meskipun barusan patah hati."

Ia menoleh padaku. Mulutnya masih sibuk mengunyah namun sepasang matanya melihatku tidak mengerti, "Siapa yang patah hati?"

"Mas Gama."

Dia menunjuk hidung dengan ekspresi tolol.

"Nita, Mas Gama. Lebih milih mantannya daripada Mas Gama," cerocosku, "jangan pura-pura kuat di depanku, Mas. Aku tahu betapa patah hatinya Mas Gama, tapi yang namanya jodoh nggak bisa dipaksa. Kalau Nita nggak mau, masih ada Inez yang siap menerima Mas Gama apa adanya."

Raut kebingungannya berubah dalam satu detik begitu mendengar penjelasanku. Gama terkekeh-kekeh sambil menggeleng berulang kali.

"Kan, mulai edan. Ketawa sendiri nggak jelas," tuduhku.

"Menurut kamu si Tukang Ghosting itu, Nita? Annita sahabat kamu?" tanya Gama di antara kekehan, "Mas akhirnya ngerti kenapa kamu suruh milih antara Nita dan Inez waktu itu."

"Ya kalau bukan Nita, terus siapa? Aku? Ya nggak mungkin. Aku ada bukti-buktinya," aku meletakkan potongan pizza ketiga yang telah tergigit kemudian mulai menghitung bukti-bukti yang telah kutemukan dengan jari-jariku yang kotor bekas pizza.

"Satu, kejadian itu berlangsung empat tahun lalu. Anitaku yang tersayang dan tercantik, empat tahun lalu nyusulin ke Singapura. Pasti di sana terjadi sesuatu sama kalian berdua. Dua, empat tahun lalu berarti umur Nita masih dua puluh. Di umur segitu, dia tiap ketemu cowok yang lucu, dia janjiin mau nikahin mereka. Tiga, pas Mas Gama bilang kalau ternyata si Tukang Ghosting suka sama cowok lain, itu pas banget sama keadaan Nita yang masih dalam status punya pacar."

Gama menggeleng-geleng. Kekehannya telah hilang. Bukannya mendapat pencerahan, Gama malah mengurut dahi. Seolah dia kena darah tinggi dadakan.

"Jangan pura-pura nggak paham sama penjelasan Vanda barusan."

"Masalahnya, bukan Annita, Panda! Bukan Nita orangnya."

"Lah? Kalau bukan Nita terus siapa?"

Tubuh Gama tak bergerak sama sekali. Sendok yang ia pegang menggantung di udara, ekspresinya tidak bisa diartikan, dan sepasang matanya lurus menatapku. Seakan ia kehabisan kata-kata.

Sementara Gama bengong seakan kata-kataku membolongi otaknya, pikiranku mulai membuat prediksi lain. Bahwa Gama malu mengakui apa yang ia rasakan pada Nita karena aku adalah sahabat baik Nita. Bahwa sesungguhnya, ia ingin mengatasinya sendiri tanpa bantuanku.

"Ngomong dong, Mas, jangan bengong aja. Ntar kesambet jin loh. Repot kalau harus rukiyah."

"Speechless, Pan," sahutnya. Ia kemudian kembali menyendoki nasinya, bergantian dengan embusan napas panjang berulang kali. Seolah frustasi. Entah oleh apa.

"Yang namanya saudara itu, selalu tahu apa yang dipikirkan saudaranya yang lain." Saat kata saudara meluncur keluar dari bibirku, sepintas pemikiran melewati kepalaku. Gelenyar aneh yang kamu rasakan tadi hanya karena efek samping bau after shave. Efek jomlo menahun.

Alih-alih menjawab tanyaku, Gama malah menggumam tak jelas sambil menyendok nasi. Kembali makan.

"Hah apa?" tanyaku. Berusaha membuat Gama mengulang kata-katanya yang samar.

"Nggak," jawabnya singkat. Tak memutus kegiatannya makan.

"Aku barusan denger sekilas Mas Gama ngatain orang," kataku yang sudah kembali sibuk dengan potongan-potongan pizza, "ngatain Nita ya, Mas? Karena dia lebih milih mantannya? Meskipun kenyataannya pahit, Mas Gama harus terima dengan lapang dada."

Ia tak menjawab tapi helaan napas panjangnya kembali terdengar.

Aku langsung mengeluarkan jurus penghiburan, "Jangan sedih, masih ada perempuan lainnya. Nggak ada Nita, masih ada Mbak Inez yang cantik, kaya raya, orang dalamnya berkuasa. Gimana? Mau aku pesankan tempat untuk makan malam berdua? Anggap saja, sebagai ucapan terima kasih karena dibikinin bekal tiap hari."

"Jangan kasih harapan ke orang yang nggak bersalah, Pan. Dosa."

"Ya terus, Mas Gama mau nungguin Nita sampai kapan?" tanyaku kesal, "Nita serius loh Mas sama yang ini. sampai ditangisin! Ini pertama kalinya Nita kayak gini ke cowok." Aku harus menjelaskan segamblang-gamblangnya ke Gama, agar dia move on. Seperti aku.

Gama menghabiskan nasinya dengan cepat. Ia meneguk segelas air putih yang barusan kutuangkan untuknya lalu berdeham beberapa kali sebelum menatapku lurus-lurus.

"Pan," katanya sambil meraih tangan kiriku yang tak memegangi potongan pizza.

Aku mematung begitu tanganku dalam genggaman Gama. Ada sensasi tersengat listrik saat kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Tuhan, ini aku kenapa! Aku nggak nyium bau after shave-nya Mas Gama!

"Tukang ghosting-nya bukan Nita. Mas Gama juga nggak mau sama Inez."

"Lah terus maunya sama siapa?" tanyaku berusaha biasa-biasa, "Ibu Rosalia udah ada suami, Mas." Siapa tahu ternyata yang ditaksir Gama adalah Mama.

"Anaknya Ibu Rosalia," jeder, "kamu," lanjutnya tanpa suara. Hanya mulutnya yang bergerak. Sedangkan dagunya menunjuk mukaku.

Demi kolor Ibu Rosalia yang kembang-kembang, bercandanya Gama bikin berbahaya!

"Loh, loh, loh. Mau kemana, Pan?" tanyanya begitu aku menarik tanganku dari genggamannya lalu melempar potongan pizza.

"Mas Gama becandanya kurang ajar!" Aku kemudian terbirit-birit keluar dari rumah Gama. Tak peduli pada Gama yang berucap tentang sisa pizza yang masih banyak. Tak acuh juga ketika ia berhasil mengetuk kaca jendela mobilku. Aku meluncur cepat-cepat meninggalkan halaman rumah Gama dengan perasaan campur aduk.

Masih dalam keadaan berusaha menenangkan diri, tiba-tiba satpam yang menunggu gerbang di perumahan Gama menyapaku dengan begitu ramahnya saat jendela mobil terbuka.

"Hati-hati di jalan, Bu Gama." Senyumnya lebar dari kiri ke kanan seakan mulutnya barusan robek.

Ya Tuhan, beneran si Gama bilang ke satpam kalau aku calon istrinya!

==

The Fool who Rocked my WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang