XVI

8.9K 1.7K 176
                                    

Hai gaes, cerita ini udah ada di karyakarsa ya versi lengkapnya (dari awal sampai bab ending), juga bab-bab yang nggak tayang di wattpad (ekstra part, POV 3-cerita dari sisi Gama, sama kisah Galen)

Anw, selamat membaca❤️

==

"Bisa sakit, Pan?" tanya Gama dari ambang pintu.

Galen sudah pulang sejam yang lalu begitu Mama telepon bahwa ia sudah masuk tol untuk pulang. Bicara panjang lebar tentang acara pernikahan adik perempuan Papa yang ramai, tentang mantunya yang kaya raya dan bekerja di salah satu BUMN, dan yang lainnya. Perempuan itu baru berhenti bicara saat aku bilang, aku kena flu.

"Mas Gama pikir aku robot? Nggak bisa sakit?" jutekku. Masih meringkuk di kasur dengan selimut yang membungkus seluruh tubuh. Memunggungi Gama.

Mama baru saja keluar dari kamar setelah mengomeliku panjang lebar perkara imun booster yang ia siapkan tak kuminum. Papa hanya mengecek suhu badanku yang sudah turun, menanyakan aku ingin makan apa lalu turun ke bawah.

Suara langkah kaki Gama yang berat terdengar. Ia sudah di depanku beberapa detik kemudian. Tubuhnya berjongkok di depanku. Memeriksa suhu di dahiku sementara tangan satunya lagi menyentuh dahinya sendiri. Membandingkan suhu badan kami.

"Gimana di acara nikahan, Mas? Dideketin Bude Puput nggak?"

"Iya, suruh nikahin Aira."

Tubuhku merangkak untuk duduk setelah aku melepas selimut. Menepuk sebelah ranjangku yang kosong agar Gama duduk di sana.

"Ambilin tisu, Mas," perintahku pada Gama yang memang lebih dekat dengan nakas tempatku menaruh dua kotak tisu yang siang tadi dibelikan Galen. Aku menggulungnya lalu memasukkan tisu ke salah satu hidungku yang buntu dan penuh dengan cairan. Tidak malu sama sekali pada Gama karena wujudku yang buruk rupa.

Gama yang melihatku sedari tadi hanya menghela napas panjang. Sepertinya ia kelelahan karena menyetir selama beberapa jam.

"Jangan sama Aira, Mas. Bisa mati muda nanti," kataku setelah selesai memasang tisu di hidung, "Saranku, sama Inez saja, Mas."

Seminggu ini Inez terus membuatkan bekal untuk Gama. Dia mulai mengirimiku banyak pesan yang menanyakan tentang makanan favorit Gama. Masih setia menyuruhku untuk makan siang bersamanya, dengan bekal yang ia buatkan. Benar-benar calon istri idaman.

"Kamu sudah ke dokter?" tanyanya. Tak menyahuti saranku.

"Sudah," kataku otomatis tersenyum tanpa diminta, "tadi ada yang antar."

"Anak-anak kos?"

Aku menoleh pada Gama, memandanginya lekat, "Calon pacar."

Untuk beberapa saat, tak ada reaksi dari Gama. Ia memandangiku lamat-lamat seakan berita yang baru aku sampaikan seperti sebuah omong kosong.

"Calon pacar?" tanyanya membeo.

Aku mengangguk.

"Sudah ada cowok baru, Nda?" tanyanya seakan baru sadar dari kelinglungan. Gama melihatku lekat-lekat seperti seorang ditektif yang mencoba mencari jawaban lewat sepasang mata para tersangka.

Aku berpaling. Berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya jujur pada Gama, "Cowok yang kemarin itu, Mas." Aku melirik Gama takut-takut.

Kerutan di dahinya muncul, "Maksudnya pacar Nita?"

"Mantan," koreksiku, "mantan pacar Nita."

"Mas nggak paham, Pan."

"Ya pokoknya ada hal-hal yang bikin aku banyak mikir ulang. Dan kayaknya, dia memang layak dikasih kesempatan."

Sekali lagi, Gama memandangiku lekat. Ekspresinya tak terbaca selama beberapa saat hingga napasnya terembus panjang. Ia bangkit dari sisiku. Menepuk lembut pucuk kepalaku sebelum akhirnya berucap, "Yang penting jangan sampai kamu sedih." Lalu dia meninggalkan kamarku tanpa berkata-kata lagi.

==

Aku dapat libur sehari. Dapat surat izin dari dokter kemarin. Senin ini keadaanku sudah cukup baik. Kepalaku sudah tak pening, hidung tersumbatku sudah mulai menghilang, cairan di hidung sudah mengental, dan besok sudah kembali bekerja.

Galen tak berhenti mengirim pesan begitu ia meninggalkanku sendiri di rumah karena kuusir pergi sebelum orang tuaku datang. Kami berkirim pesan seperti orang kasmaran. Ponselku yang biasanya kebanyakan pesan dari Nita dan Gama, hari ini diisi oleh sebagian besar penghuni divisi pembelanjaan.

Isa dan Bian mengirimiku pesan penyemangat pagi tadi, ketika tahu kalau aku sakit. Isa bahkan membuat grup terselubung untuk kami bertiga. Hanya untuk membahas apa yang terjadi antara aku dan Galen. Juga membungkam Bian yang sorak sorai memproklamasikan diri jadi tim Gama.

"Nda...," panggilan Nita yang bersamaan dengan pintu kamarku yang menjeblak, membuatku yang tengah rebahan langsung terduduk seketika.

Mataku berkedip berulang kali hanya untuk memastikan bahwa perempuan cantik yang kelihatan khawatir sekarang ini, adalah Nita, sahabat baikku.

"Bukannya lo baru balik besok?" tanyaku kaget.

Alih-alih menjawab tanyaku, Nita melangkah lebar-lebar dengan kaki jenjangnya. Memelukku yang tengah mematikan ponsel diam-diam. Takut dia akan melihat isi pesan-pesanku.

"Gue langsung balik waktu tahu lo sakit," katanya. Perhatian seperti biasanya.

Apakah aku harus mengungkap semuanya pada Nita dan tidak menyembunyikan hubunganku dengan Galen? Mungkin benar kata Mbak Isa, kalau dia sebaik malaikat, Nita pasti akan memberikan restu untukku dan Galen.

"Ninggalin kerjaan?"

"Kerjaan gue udah selesai dari tiga hari lalu sebenarnya. Rencananya tinggal lebih lama buat nenangin mental." Ia melepas pelukan sambil meringis.

"Lo ada masalah?" tanyaku. Ini pertama kalinya Nita membawa-bawa mentalnya.

Perempuan dua puluh empat tahun itu melempar tasnya ke lantai. Ia mendesah panjang sambil menjatuhkan badannya ke ranjang. telentang di sampingku menatap langit-langit.

"Gue pikir, semuanya bisa gue atasin sendiri." Lalu tak ada kata-kata dari Nita. Ia lurus menatap kosong pada atap kamarku.

Aku tersentak beberapa menit kemudian setelah melihat airmatanya keluar. Dia menangis tanpa suara, "Nit? Kenapa?" tanyaku hati-hati.

Hanya keheningan yang mengisi ruangan di antara kami. Nita seakan tengah mengatur kata-kata yang akan ia ucapkan padaku. Sementara kepalaku mulai berdenyut tegang. Entah kenapa instingku mengatakan bahwa ini berkaitan dengan Galen.

"Gue rasa, gue harus balikan sama Galen," katanya, "gue nggak tahu bakal jadi apa tanpa dia." Ia terduduk kemudian terisak-isak.

Rasanya bagai disambar petir seketika. Semua kejadian indah selama seminggu ini hanya ketenangan sebelum badai datang. Aku jelas tak bisa menghancurkan persahabatanku. Aku memeluk Nita erat-erat.

"Harusnya gue hibur lo yang lagi sakit, bukan malah nambahin beban lo," ucapnya sembari melepas pelukan, "Sorry."

Aku mengusap airmatanya, "Nggak apa-apa. Itu fungsinya sahabat."

==

The Fool who Rocked my WorldOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz