XXIII

8.2K 1.7K 170
                                    

Hai Tim Gama, happy suffering yaaahhh... 

==

Satu koper berukuran besar di depanku telah terisi hampir separuh pakaian kerja. Celana jins, kaus, dan piyama akan masuk setelahnya. Aku mengintip daftar catatan pindahanku sekali lagi. Semua peralatan make up akan dikemas besok sebelum berangkat pindah ke kantor baru.

Aku sudah memberi tahu Mama sejak dua hari lalu setelah menawarkan diri dengan sukarela pada Isa. Reaksi pertama Mama tentu saja kaget kemudian disusul serentetan kekhawatiran yang panjang. Bagaimana aku akan mencuci pakaian, bagaimana aku akan makan, bagaimana kalau aku tak rutin mengonsumsi vitamin karena sering pikun. Uraian panjang yang setidaknya membuatku sadar, bahwa bukan hanya Gama saja yang anak mama tapi aku juga.

Omong-omong perkara Gama, setelah kejadian dua hari lalu, ia tak bisa dihubungi. Bukan diblok, tapi semua pesan dan teleponku diabaikan. Pesan-pesanku tercentang biru tapi tak pernah dibalas. Teleponku terhubung tapi tak pernah diangkat. Prediksiku sih, dia masih galau mau berada di kubu siapa. Aku sendiri berusaha menghormatinya dengan memberinya ruang untuk berpikir.

"Nda." Mama muncul tanpa suara. Tahu-tahu kepalanya sudah melongok ke kamar.

"Jangan nyuruh Vanda, Ma. Aku lagi sibuk packing. Besok berangkat. Belum selesai masuk koper sama kardus ini."

"Tapi ini penting." Mama masih bertahan dalam posisinya tanpa keinginan untuk masuk ke dalam kamarku, "Nanti Mama bantuin kamu packing."

"Nggak usah." Sejak dua hari lalu dia sudah mengomeliku panjang lebar perkara barang apa saja yang harus kubawa. Karena aku tak mendengarkan, Mama kemudian bersumpah tak akan membantuku untuk mengemas barang-barangku.

"Kok jahat sama Mama sih. Besok-besok Mama kan udah nggak minta tolong kamu lagi."

Aku mengerucutkan mulut. Bertahan di tempatku mengepak barang. Tidak berpindah barang sesentipun.

"Cepetan, Nda. Ke Gama bentar aja. Ambilin paketan Mama. Katanya, Gama beliin Mama peralatan berkebun."

Seperti kerasukan setan, aku mendadak berdiri dan menyambar kunci. "Itu doang?" tanyaku sedangkan Mama melongo.

Ekspresi Mama sudah mencelaku tapi sepertinya ia tahan agar tak terucap. Mama hanya mengangguk, "Iya. Itu saja. Nggak usah buru-buru, Nda." Perempuan paruh baya itu mengekor di belakangku sambil ceramah. "Hati-hati di jalan. Lagi gerimis ini. Jaraknya cuman lima belas menit."

Aku sudah masuk ke mobil dan memakai sabuk pengaman.

"Nda, kamu denger Mama nggak?"

"Iya!"

Aku terus menggumamkan 'paket berkebun Mama' berulang kali. Kulakukan untuk mengusir pergi suara berisik di kepalaku. Semuanya serba bertentangan. Pikiranku tak bisa selaras dengan denyut jantungku yang menderu dan akhirnya membuat riuh setan di kepala.

"Malam Bu Gama," sapa satpam sambil membuka gerbang agar mobilku bisa masuk ke dalam.

Aku menyapa balik namun senyumanku bahkan tak menghilang setelah mobilku meninggalkan pos satpam. "Lo kenapa sih, Nda! Gila? Tabu banget jiwa lo. Abang lo sendiri ini!" celaku pada diri sendiri.

Berbeda dengan diriku yang ingin menahan diri agar tak terlalu kentara senang, langkah kakiku bergerak ringan meninggalkan mobil begitu sampai di depan rumah Gama. Tak tahu malu.

Aku berusaha menghilangkan senyuman yang sedari tadi muncul tanpa diminta saat masuk ke pelataran rumah Gama. Pintu rumah megah itu sedikit terbuka. Aku sudah bersiap mengagetkan Gama ketika satu suara membekukan langkahku.

"Gue udah putus dari Nita!"

Ludahku tertelan susah payah. Suara Galen terdengar jelas sampai ke telingaku. Aku akhirnya bisa bergerak merapat ke pintu ketika mendengar decakan Gama.

The Fool who Rocked my WorldWhere stories live. Discover now