XXIV

8.3K 1.7K 81
                                    

Hai Mate, yang nungguin di Karyakarsa, bab baca duluan udah di update sampai ekstra part ya.

Anw, selamat hari kamis dan happy reading

==

Sebelum kedua orang tuaku melihat Galen, aku langsung menariknya menjauh dari mes. Galen masih memeluk kardus barangku. Tak sempat meletakkannya di tempat semula.

Aku berhenti menarik Galen begitu sudah jauh dari mes. "Kenapa lo ada di sini? Harusnya Mbak Isa yang di sini." Aku menatapnya nyalang, tak bisa menyembunyikan kekesalan.

"Bukan salah Mbak Isa. Gue dikirim sama Pak Fajar. Itupun mendadak. Kemarin."

"Bohong!"

"Serius," ucapnya bersungguh-sungguh, "alasannya Pak Fajar sih, gue pernah di sini selama seminggu buat pembelanjaan kantor baru."

Penjelasannya membuatku ingat pada Isa yang sejak keberangkatanku tadi pagi, tak bisa dihubungi. Aku mulai merasa kesal karena ingatan-ingatan tentang semalam memenuhi pikiranku. Isa berkirim pesan denganku tanpa menceritakan kabar bahwa Galen akan menggantikan dirinya.

Tanganku terulur ke Galen layaknya preman yang tengah memalak bocah tak berdosa, "Handphone lo mana?"

"Buat apa?"

Sudah beberapa hari terakhir ini, Gama menghindariku. Dia tak membalas pesanku juga tak mengangkat telepon dariku. Prediksiku mengatakan, bahwa dia berusaha cuci tangan dari masalahku agar bisa membela adik kesayangannya.

"Telepon Mas Gama."

"Kenapa nggak pake handphone lo sendiri?"

Alih-alih menjawab, aku meliriknya dengan cara yang sadis. Kata ganti untuk 'jangan banyak bacot lo.'

"Di saku, Nda." Kemudian Galen mendorong pinggulnya dengan cara yang lucu. Memperlihatkan ponselnya yang berada di saku celana.

"Terus menurut lo, gue bakal sudi ngambil dari situ?" bentakku antara kesal dan entah kenapa merasa lucu. Rasa-rasanya sudah lama sekali tak merasakan hal seperti ini bersama Galen. Dulu saat semuanya tak serumit sekarang, aku banyak tertawa mendengar celatukan-celatukan humornya.

Galen meletakkan kardus yang sedari tadi ia pegang di sebelah kakinya. Ia akhirnya mengulurkan ponselnya padaku.

"Nomor sandinya," katanya saat ponsel yang barusan kugeser layarnya terkunci, "tanggal ulang tahun lo."

"Jangan kumat lo, Len."

"Lo coba kalo nggak percaya."

Aku mengembalikan ponselnya, "Lo buka sendiri. Kalau pun benar itu tanggal lahir gue, lo harus ganti sekarang."

Suasana lucu yang tadi menyelimutiku, sekarang hilang tanpa bekas. Karena perkara nomor sandi.

"Kenapa lo jadi sensitif sekarang, Nda?" tanyanya tanpa melihatku. Ia sibuk dengan ponselnya. Menuruti kemauanku.

Aku tak menjawab.

"Sorry." Galen langsung minta maaf begitu mata kami saling bertemu. Aku melihatnya dengan kesal. Seakan bola mataku mampu mengeluarkan laser yang bisa membolongi kepala Galen. Setidaknya ia tahu bahwa dirinyalah yang berkontribusi menjadikanku sumbu pendek.

Galen mengulurkan kembali ponselnya padaku semenit kemudian. Dalam hitungan detik, aku sudah menelepon Gama. Meletakkan ponsel ke telinga.

"Arya? Ada apa?" panggilanku langsung terhubung dengan Gama. Suaranya terdengar ceria. Kelihatan senang bukan main bahwa adik lelakinya menelepon.

"Mas Gama jahat banget," ucapku sedetik kemudian. Entah kenapa, aku bisa membayangkan bahwa kebahagiaan Gama barusan telah menguap pergi begitu mendengar suaraku.

The Fool who Rocked my WorldWhere stories live. Discover now