XXII

8.5K 1.8K 168
                                    

Ceritaku bersama Isa dan Bian selesai begitu Galen muncul. Dengan bantuan Isa, aku ditarik keluar dari ruangan divisi kami. Menjauhi peperangan di kantor karena urusan pribadi. Isa membawaku ke kantin untuk makan siang (yang kelewat telat) sambil membicarakan kepindahan ke kantor baru yang mendadak jadi tidak terlalu mencekik.

Pindah adalah satu-satunya pintu untuk keluar dari masalah ini. Biarkan sisanya diselesaikan oleh Nita. Aku jelas tahu bagaimana kemampuan Nita untuk membuat pria bertekuk lutut. Dengan menjauhnya aku dari Galen, aku yakin pria itu bisa kembali kepelukan Nita lebih cepat. Kemudian akhirnya dia datang dan memperingatkanku untuk merahasiakan apa yang terjadi di antara kami.

"Mendadak ada banyak teori konspirasi di kepala gue, Nda," ucap Isa di tengah-tengah kesibukanku melihat foto-foto dari kantor baru.

"Tentang apa?" tanyaku tanpa mengalihkan wajah dari foto.

"Lo."

Aku mengangkat wajah, melihat ke Isa dengan bingung.

"Setelah dengar cerita lo dengan lengkap, gue mulai bertanya-tanya. Tentang perasaan awal lo ke Galen. Bener karena Galen doang atau mungkin ada hubungannya sama Pak Gama. Masa gue mikir kalo lo dulu pernah naksir Gama sih. Cuman perasaan lo tertutup karena ada embel-embel kakak adik."

Tidak. Sejak awal dengan Galen, aku melihatnya bukan karena dia mengingatkanku pada Gama. Aku menyukai Galen karena dia memang Galendra Estu Bagaspati. Pria yang bisa membuatku terbahak-bahak hanya karena guyonannya. Pembawaan diri Galen yang percaya diri, bagaimana dia menghormati perempuan, semua itu adalah faktor utama yang membuat jantungku berdebar.

Aku melihat Isa tanpa berkedip selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, "Salah."

"Jadi, dari awal suka Galen memang karena dia itu Galen? Bukan karena dia punya beberapa kemiripan dengan Pak Gama?"

Satu anggukan mantap untuk menjawab tanya Isa. "Realitanya malah kebalikan itu. Gue sempat deg-degan nggak jelas ke Mas Gama beberapa hari lalu tanpa tahu penyebabnya," kataku menarik kesimpulan, "sekarang gue sadar kenapa gue bisa goyah ke Mas Gama. Karena ternyata dia adalah kakak kandung Galen."

"HAH?" kaget Isa, membuatku menatapnya dengan kekagetan yang berbeda. Isa kaget karena mendengarkan berita yang baru kusebut sedangkan aku kaget karena keceplosan ke Isa entah untuk keberapa kalinya.

"Tunggu-tunggu, gue perjelas dulu. Ini nggak seperti yang lo bayangin."

"Lo naksir Pak Gama?" Isa sudah tak peduli dengan penjelasanku selanjutnya. "Lo naksir kakak adik dalam waktu bersamaan?"

"Enggak gitu Mbak Isa."

"Tapi ya, setahu gue memang bisa kok suka dua orang dalam waktu bersamaan. Beda kadarnya doang."

"Tunggu dulu, gue jelasin."

Isa menyilangkan kaki dan melipat dua tangannya ke dada secara bersamaan, seakan gestur tubuhnya tengah menghakimiku dengan kata-kata 'penjelasan apa lagi.'

"Gue nggak naksir Mas Gama. Gue beberapa kali sempat lihat Gama bukan sebagai kakak. Gue bertanya-tanya dong, kenapa gue mendadak berubah gitu padahal dulu-dulu ew banget bayangin dia lebih dari kakak. Paham 'kan Mbak Isa maksud gue?"

Isa mengangguk. Gestur tubuhnya sudah tak menghakimi lagi.

Aku melanjut, "Gue pikir karena ada kaitannya dengan bau after shave dan jam terbang panjang gue sebagai seorang jomlo. Ternyata praduga gue salah semua. Jantung gue deg-deg ser ke Mas Gama bukan karena semua itu, tapi karena dia adalah kakak Galen. Gue yakin, alam bawah sadar gue lihat Mas Gama sebagai Galen beberapa tahun kemudian. Makanya gue deg-degan ke dia."

The Fool who Rocked my WorldWhere stories live. Discover now