Prologue

227 84 44
                                    

"Navi!"

Lelaki itu menoleh begitu mendengar namanya diserukan. Peluh menetes dari keningnya akibat terlalu bersemangat memasukkan bola ke dalam keranjang.

"Apa?"

Navi berjalan mendekat ke arah sumber suara, membiarkan terik matahari menyinari wajah eloknya, menimbulkan sekelebat cahaya safir dari dalam matanya.

"Udahan kali," ucap lawan bicaranya. "Lo udah main hampir satu jam. Panas banget lagi."

"Gue belom capek," tolak Navi lalu hendak berbalik ke lapangan lagi sebelum Silla menahan lengannya.

"Gue sih, gak peduli lo capek atau gak. Masalahnya lo main sendirian, jadi keliatan ngenes banget. Sedih gue liatnya."

Navi terkekeh singkat lalu akhirnya duduk di tepi sambil meminum airnya, puas berhasil meluapkan emosi yang ditahannya sedari pagi.

Silla ikut duduk di sebelahnya, sebagai teman yang setia sejak empat tahun yang lalu.

Atau terlalu setia?

"Lo kenapa hari ini?" tanya Silla perhatian setelah membiarkan Navi mengatur nafasnya. "Kayak lagi marah."

"Nilai cuma segini, apa yang bisa diharapkan?! Mana cukup buat menggantikan dia?!"

"Gue ada utang, ya?"

Celetukan polos Silla membuat Navi tersadar dari kejadian tadi pagi. Lelaki itu akhirnya terkekeh kecil.

"Itu udah biasa."

Silla tertawa.

"Terus apa?"

Navi menatap ke arah bola basketnya yang dia biarkan tergeletak di tengah lapangan.

"Gak ada apa-apa."

"Selalu kayak gitu kalo ditanyain." Silla mengerucutkan bibirnya. "Terbuka dikitlah, Nav. Masalah lebih ringan kalo ditanggung bareng, kan?"

Lelaki dengan kaos penuh keringatnya itu bangkit, berniat melanjutkan permainannya. Namun sebelum itu, dia menunduk ke arah Silla yang masih menatapnya penasaran.

"Yang ini kayaknya lebih ringan kalo gue tanggung sendiri."

1️⃣0️⃣ 💠 1️⃣0️⃣

"Magenta!"

Perempuan dengan rambut ekor kudanya itu menoleh, lalu seketika tersenyum melihat orang yang memanggil namanya.

"Kenapa?"

Senyumnya masih mengembang, lama-kelamaan memancing semburat merah alami di kedua pipinya karena senantiasa ditarik.

"Temenin ke kantin, yuk."

"Yuk, gue juga mau ke kantin."

Janet tersenyum senang lalu mensejajarkan langkahnya dengan langkah Genta.

"Kantin sekolah ini enak banget. Udah murah, banyak macam lagi. Aduh, kalo udah alumni masih boleh ke sini gak, ya?"

Magenta terkekeh mendengar kalimat teman semejanya itu.

"Baru aja sebulan di sini, udah ngomongin jadi alumni aja."

"Loh, kita itu harus terus berorientasi ke depan!" Janet berucap tegas, sikap ambisnya mulai bermunculan. "Kalo cuma stuck di masa kini, bisa ambyar hidupnya."

Genta tertawa lagi, membuat rona wajahnya semakin terlihat ditambah timpaan cahaya sang surya.

"Katanya lo punya jodoh loh, di sini."

Tawa Genta langsung terhenti. Kepalanya menoleh ke arah Janet.

"Siapa yang bilang?"

"Banyak. Ada kakak kelas namanya mirip sama lo. Gue lupa apanya yang mirip. Siapa, ya?" Janet mengerutkan kening, berusaha mengingat.

"Cuma karena namanya hampir sama, bukan berarti jodoh, kan?" elak Genta.

"Tapi lucu!" Janet tetap bersikeras. "Kayaknya ada unsur warnanya juga gitu. Pokoknya nanti kalo inget, gue kasih tau. Ah, kalo jadian beneran, pasti unik! Bisa ada 'pasangan warna' gitu."

"Ah, nama kamu unik! Bisa ada warnanya gitu. Sama kayak aku kalo gitu!"

"Tapi kalo beneran cocok," Janet mengangkat topik lagi membuat Genta tersadar dari memori kecilnya. "Mau jadian gak?"

Genta menatap ke depan, mengamati anak-anak di dalam kantin yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Dia tersenyum lagi lalu menoleh sejenak ke arah temannya.

"Yang ini kayaknya nggak dulu."

1️⃣0️⃣ 💠 1️⃣0️⃣

Sepuluh update setiap Selasa dan Sabtu!

Jadi ini paling cuma 1-2 bulan selesai. Cepat sekali yah. Makanya stay tune!<3

*up setiap sel, sab

Sepuluh [Selesai]Where stories live. Discover now