Day 4

142 37 86
                                    

Kamis, hari ke-empat
Jadwal :
• Kimia
• Seni Budaya
Waktu :
07.00 - 09.00
09.00 - 09.30 (istirahat)
09.30 - 11.00

1️⃣0️⃣ 💠 1️⃣0️⃣

Sialan.

Gara-gara terlalu lama memikirkan perdebatannya dengan Magenta kemarin, waktu belajar Navi jadi terpotong, membuat lelaki itu terjaga sampai jam dua dini hari, bangun kesiangan, dan berakhir berlari di koridor yang sudah sepi ini.

"Ah, Navier."

Ah, Bu Hani, balas batinnya lega. Guru satu ini cukup akrab dengan Navi, membuat lelaki itu yakin dia tidak akan dapat hukuman.

Benar saja. Bu Hani langsung membiarkan Navier duduk. Dengan nafas agak tersengal karena berlari dari parkiran motor sampai lantai dua ini, Navi berjalan ke belakang, membuka tasnya, merogoh alat tulisnya.

Kosong.

Navier mengecek lagi isi tasnya.

Sialan kuadrat.

Pasti dia tinggal di meja belajar karena terburu-buru berangkat.

Lelaki itu langsung berpikir cepat, melirik Dea yang tengah menyalurkan kertas ke belakang.

"De," bisiknya cepat. "Pensil, cepetan."

Dea, selaku sang lovers, langsung bersedia meminjamkan persediaannya.

Navi duduk sambil tetap mengatur nafas, berharap begadangnya semalam tidak berujung sia-sia. Sampai tiba-tiba matanya menangkap Genta yang tengah duduk dengan tenang.

Semua kesialannya karena cewek ini.

Navi melirik tak suka membuat Genta yang merasa ditatapi menciut lagi.

Dia memang juga kesal dengan Navi. Namun jika masalah menatap, Genta lebih memilih menunduk. Sayang, penerapan "magenta"-nya hanya di pipi, tidak di mata juga.

Kalau di mata juga, bisa disangka iritasi. Haha, apasih.

Waktu berjalan. Ilmu tentang susunan unsur dan zat tersebut membuat beberapa kepala mengasap, termasuk Navi yang terhitung anak cerdas.

Karena terlalu frustasi, pensilnya menyilang huruf yang salah.

Sialan kubik.

Navier menatap Dea yang juga tampak frustasi di seberang, sampai tidak menyadari Navi tengah mencoba meminjam penghapus.

Tak ada pilihan lain, Navi langsung menyikut manusia di sebelah kanannya.

"Pinjem penghapus."

Magenta langsung menyerahkan penghapusnya tanpa kata.

Dibilang tidak sakit hati, jelas sebuah kebohongan. Genta sakit, namun dia tetap mencoba profesional untuk tidak menghalangi Navier di masa ulangan yang bukan main-main ini.

Navier cukup terkejut melihat Genta langsung menyerahkan barang yang dimintanya begitu saja tanpa pikir panjang. Lelaki itu pun menghapus jawabannya yang salah, namun pikirannya kembali ke belakang, tersadar.

Iya, ternyata dia cukup egois.

1️⃣0️⃣ 💠 1️⃣0️⃣

Selesai tes seni budaya yang seakan menjadi pereda setelah kimia, Magenta berjalan ke parkiran sepeda untuk pulang.

Navier hari ini tidak menyulitkannya. Lelaki itu langsung keluar, memberi Genta jalan. Mungkin kejadian penghapus tadi membuat hatinya sedikit melunak.

Tapi tetap saja, luka di hati Genta tidak membaik. Dia kecewa mendengar bagaimana kemarin Navi berpikir bahwa dirinya baik-baik saja selama ini.

Tidak, Genta tidak baik-baik saja. Membuat kehidupan Navi sulit, tidak berarti membuat kehidupannya sendiri mudah.

Bisa dibilang, mereka berdua sama-sama kalah.

Genta berjongkok, membuka kunci sepedanya saat tiba-tiba ada sepasang sepatu di hadapannya.

"Apa lo tau kesalahan lo?"

Suara dingin ini lagi. Suara yang dalam bagaikan laut malam. Gelap, membuatmu tidak tahu apa yang ada di dalamnya.

Magenta diam sambil tetap berkutat dengan kuncinya. Navier menunduk.

"Udah tau kenapa gue benci-"

"Sampe kapan lo mau neror gue?"

Navier langsung diam, membuat Genta mendongak, tanpa sengaja memperlihatkan matanya yang sudah kembali memburam.

"Kalo lo gak mau nerima permohonan maaf gue, jangan bikin gue berpikir gue harus minta maaf. Dan ujung-ujungnya jadi tertekan sampe gak tau harus ngapain lagi supaya lo maafin gue."

Genta bimbang tentu saja. Sikap Navi seakan menuntut permohonan maafnya, tapi begitu Genta melakukannya, Navi langsung menolak.

Lalu dia harus bagaimana?

Bersikap tidak peduli adalah satu-satunya pilihan yang terpampang di mata Genta.

Tanpa Genta tahu, Navi pun juga tengah bimbang. Sebagian dirinya ingin Genta merasakan penderitaannya, sebagian yang lain ingin dia dan Genta kembali seperti dulu.

Ya, dulu.

"Gue diteror trauma, Nav." Genta bangkit berdiri, meletakkan pengunci sepedanya di keranjang. "Gue udah berusaha untuk melupa, tapi sekarang bagian dari trauma itu ada di hadapan gue."

Genta menatap sekilas Navi yang tidak memberi respon apa pun, lalu tersenyum singkat.

"Navi, orang bisa lihat betapa mempesonanya sinar mata lo. Tanpa tahu, ada nyawa orang lain yang pernah tenggelam di dalam situ."

Rahang Navi mengeras, menyadari Genta membalas kalimatnya kemarin.

"Pada dasarnya kita sama aja, kan? A killer, such a loser." Genta menegakkan sepedanya, lalu menatap Navi sebentar. "Jadi tolong, ngertiin gue dikit."

Dan tanpa menunggu apa pun lagi, Magenta mengayuh sepedanya keluar dari parkiran menuju ke gerbang, meninggalkan Navi yang terus mengamatinya dari belakang.

Navier salah, karena membiarkan Magenta terjebak di antara dua situasi yang berbeda. Dan Magenta juga salah, karena membuat Navier menciptakan dua situasi itu.

Dan semuanya akan terus berputar tanpa lelah, menjadi siklus saling tunjuk siapa yang salah, jika tidak ada yang mau mengalah.

1️⃣0️⃣ 💠 1️⃣0️⃣

sabar, satu part lagi mulai pencerahan, sabar, sabar~🧘

*up setiap sel, sab

Sepuluh [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang