Day 3

156 33 62
                                    

Rabu, hari ke-tiga
Jadwal :
• Biologi
• PKWU
Waktu :
07.00 - 09.00
09.00 - 09.30 (istirahat)
09.30 - 11.00

1️⃣0️⃣ 💠 1️⃣0️⃣

"Sudah terkumpul semua, boleh istirahat."

Beberapa anak langsung bersorak bahagia, senang bisa terlepas dari ilmu tentang makhluk hidup tersebut. Magenta juga senang karena dia tidak terlalu suka biologi.

Rasa senangnya langsung memudar teringat manusia di sebelahnya ini belum juga beranjak. Masalahnya, Genta duduk menempel tembok terapit meja. Jadi satu-satunya jalan keluar adalah dengan meminta Navi keluar sejenak.

Kruyuk

Genta sebenarnya tidak mau menegur Navi karena kejadian kemarin. Tapi mau bagaimana lagi? Dia harus makan.

"Permisi bentar."

Hening. Navi melirik Genta sejenak sebelum kemudian kembali menatap ke depan.

Katakanlah dia kekanak-kanakan, namun Navi masih tidak percaya mengetahui kenyataan kemarin bahwa Genta menganggap nilai ulangan jauh lebih penting daripada menyelesaikan masa lalu.

Magenta menghela nafas, lama-lama mulai kesal juga.

"Nav, minggir."

Tidak ada reaksi.

"Ayolah," decak Magenta mulai tidak sabar. "Jangan kaitkan masa lalu ke masa kini. Bersikaplah profesional."

Navi langsung menatap Genta tajam, membuat gadis itu seketika meneguk ludah, sadar bahwa perut kosongnya membuat mulutnya bertingkah semaunya.

Navi berdiri dengan kasar lalu keluar dari kursinya, membuat Genta segera keluar dari tempat yang sesak dan penuh intimidasi tersebut.

Langkah kaki Genta langsung berlalu pergi ke kantin, meninggalkan Navi yang menangkap harum samar parfum yang dipakai Genta. Bau mawar yang lembut dan malah terkesan sendu.

Navi kembali duduk. Dia memang marah, tapi dia tidak bisa benar-benar meluapkan amarahnya.

Kenapa?

Saat pertama mendengar ada jodoh datang, Navi tidak bisa mengelak bahwa nama Magenta-lah yang langsung terlintas di pikirannya. Hatinya juga langsung terkejut mendengar benar nama yang sama.

Namun, Navi menolak. Banyak orang bisa dinamakan "Magenta", tidak hanya satu orang itu saja. Pasti yang ini orang lain, dunia tidak mungkin sesempit itu.

Yang salah adalah, Navi berbohong.

Sebagian hatinya yakin ini adalah orang yang berbeda, sebagian yang lain berharap ini adalah orang yang sama.

Baiklah jika ini orang yang berbeda, tidak ada masalah. Namun jika ini orang yang sama, apa yang harus Navi perbuat? Dia harus bersikap bagaimana?

1️⃣0️⃣ 💠 1️⃣0️⃣

Mata pelajaran prakarya dilewati dengan lancar, mungkin karena cukup mudah dan tidak butuh hafalan yang ketat.

Magenta cukup puas bisa mengerjakan dengan mulus, lalu seketika diam begitu merasa jalan keluarnya dari sini akan benar-benar macet. Karena manusia di sebelahnya ini tampaknya tidak berniat beranjak.

Bahkan sampai kelas kosong meninggalkan mereka berdua, Navi masih diam, mengabaikan tatapan beberapa orang yang tampaknya cukup penasaran ada apa sebelum sedetik kemudian berpaling, memutuskan untuk tidak peduli dan mulai memikirkan bagaimana kimia akan membunuh mereka besok.

Genta memutuskan menunggu satu menit. Mungkin Navi sedang menahan berak atau apa. Jika lebih dari satu menit, Genta akan-

"Gue mau pulang." Bibir Genta terbuka karena enam puluh detik berlalu dan Navi tetap diam.

Lagi? Batin gadis itu lelah. Sikap Navi saat ini benar-benar membuatnya emosi.

"Navi," panggilnya hati-hati. "Atau harusnya 'Kak Navi'? Mengingat lo sebagai kakak kelas di sini?"

"Bacot."

Magenta tidak bisa menahan senyum geli. Dia tidak menyalahkan Navi jika lelaki itu membencinya, tapi setidaknya haruskah hal itu menghambatnya untuk pulang?

"Mau sampe kapan lo begini?" tanya Genta akhirnya. "Gak bisakah kita move on? Melanjutkan hidup dengan damai-"

Genta langsung menutup mulutnya begitu Navi meliriknya sinis. Sangat sinis, membuat gadis itu seakan merasa mual.

"Damai? Lo gak tau seberapa tersiksanya gue selama ini gara-gara perbuatan lo."

Genta mau tidak mau terperangah. "Jadi, pada akhirnya semua ini salah gue?"

Ganta tahu ini salahnya, namun gadis itu yakin bahwa Navi juga ikut ambil andil. Mengapa mereka tidak bisa mengambil bagiannya masing-masing dan saling memaafkan saja?

Siapa lagi jika bukan ulah ego.

Navier ganti tersenyum geli, merasa lucu melihat Magenta yang tampaknya tidak mau disalahkan.

"Magenta, orang bisa lihat betapa meronanya hidup lo. Tanpa tahu, ada darah orang lain yang pernah sengaja tepercik di wajah lo."

Magenta seketika diam mendengar Navier kembali mengungkit masa lalu yang sudah berusaha keras dia lupakan.

Jantungnya seakan berdenyut nyeri, sampai Magenta merasa lebih baik tidak usah berdetak daripada setiap degupnya hanya mengundang retak.

"Just," katanya tercekat. "Just because you're hurting, doesn't mean I'm not."

"What?" tanya Navi langsung, tubuhnya menghadap Genta penuh. "What's hurting you? Apa ada yang lebih buruk daripada dikejar ekspetasi orang-orang selama sepuluh tahun lebih?"

Genta lagi-lagi dibuat ternganga melihat bagaimana Navi terdengar benar-benar tertekan. Tapi Genta tidak merasa dirinya sepenuhnya bersalah! Lagipula, apa yang bisa dia lakukan saat itu?

Memejamkan mata sejenak, membuat Navi menatap orang di hadapannya lekat-lekat, seakan menuntut pertanggungjawaban dari perbuatan Genta dulu.

"Please, Nav." Genta membuka matanya, namun memilih menunduk, tidak mau Navi melihat bahwa matanya sudah berkaca-kaca.
"Gue cuma anak umur lima tahun waktu itu. Gak bisakah lo memaklumi itu?"

Dan sebelum Navi sempat menjawab, Genta langsung bangkit berdiri, mendorong paksa meja di belakangnya supaya dia bisa keluar tanpa harus meminta Navi memberi jalan. Lalu langkahnya menuju ke pintu.

Baru setelah jarak dua meter, Genta mendapati seseorang di depan pintu. Dia menunduk sekilas, memberi hormat, lalu langsung pergi.

Membuat Silla semakin merasa curiga.

1️⃣0️⃣ 💠 1️⃣0️⃣

"Ih Navi kasar banget, sih"
ya memang.

relate sekali, bukan? (kecuali profesionalitasnya :v)

hope u guys enjoy! thankyou for staying🐳

*up setiap sel, sab

Sepuluh [Selesai]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora