13 | Kilas Balik.

92 24 33
                                    

Saat ini aku dan Aletha sedang berada di salah satu kafe yang tengah menjadi perhatian publik karena memiliki interior yang unik. Awalnya aku menolak untuk datang kesini karena kafe ini berada di luar kota dan memakan waktu perjalanan selama satu jam setengah. Namun karena bujukkan Aletha, akhirnya aku pun mengikuti kemauannya untuk mengunjungi kafe ini.

"Gimana kabar lo, Tha?" Aku memulai pembicaraan setelah seorang waiter mengantarkan pesanan kami.

Aletha yang tengah meminum segelas amerikano itu menolehkan kepalanya sehingga sekarang ia sedang menatap kearahku dengan kening yang berkerut.

"Kita udah ketemu daritadi dan lo baru nanyain kabar gue? Ck ck ck." Aletha menggelengkan kepala di akhir kalimat.

Mendengar hal itu, aku terkekeh dengan tangan yang memukul lengannya pelan. "Basa basi dikit dong kayak orang-orang yang baru reunian."

"Eh, bener juga ya." Aletha memanggut pelan, lalu ia merapihkan posisi duduknya dan mengulurkan tangan kanannya padaku. "Kabar calon pacarnya Soobin ini baik, kalau lo gimana?"

"Baru calon aja udah sombong, aneh lo." Aku tertawa sebentar, namun aku baru teringat sesuatu. "Eh lo itu beneran udah kenal sama Soobin atau masih kayak dulu yang suka ngehalu?"

Aku bertanya demikian lantaran Aletha memiliki kemampuan untuk berbicara bahasa Korea, ia belajar itu semua dari banyaknya konten pembelajaran di internet. Bukankah wajar jika aku mengira bahwa Aletha bisa saja kenal dan memang berteman dengan Soobin? Ya walaupun kemungkinannya kecil, mengingat Soobin yang memiliki popularitas cukup besar disana.

Aletha menghembuskan napasnya lelah dengan tatapan pasrah. Sepertinya ia sudah lelah karena aku yang masih saja percaya pada setiap perkataannya—karena pada kenyataannya, ia hanya bergurau walau menurutku pasti ada perasaan ingin menjadikan itu sebuah kenyataan. "Kayaknya lo kalau ditawarin balon sama orang engga dikenal bakalan diambil ye. Ya jelaslah Soobin engga tahu gue hidup, Keiii,"

Aku memanggut-manggut mengerti. Kukira yang Aletha katakan adalah kenyataan, rupanya ia hanya berhalu. "Oh gitu, yang sabar ya, semoga suatu saat nanti Soobin tahu lo hidup."

Aletha menggelengkan kepala. "Semoga aja Soobin jadi jodoh gue."

Aku benar-benar sudah tidak habis pikir dengan Aletha yang terlihat sangat memaksa untuk menjadi jodoh Soobin. Dan pada akhirnya aku hanya menunjukkan wajah datar yang membuat Aletha tertawa.

"Hahahahaha." Tangan Aletha bahkan mengambil selembar tisu lalu mengelapnya ke bagian mata lantaran ia terlalu banyak tertawa. "Kayaknya seorang Kiera udah capek denger kehaluan gue."

Aku mengangguk pasrah. "Tuh tahu."

"Eh iya, lo belum jawab pertanyaan gue, tadi kan gue nanya kabar lo." Aletha mengingatkan.

Aku mengangguk, tersadar bahwa aku memang belum menjawab pertanyaannya. Kini aku yang gantian mengulurkan tangan pada Aletha. "Oh, kabar pacarnya Renjun ini baik."

Entahlah, mengapa aku merasa seperti ada sedikit rasa angkuh saat aku memperkenalkan diri sebagai kekasih dari Renjun? Ah lupakan saja, tetapi yang membuatku kebingungan adalah karena respon yang Aletha berikan seperti tatapan aneh serta sebal di waktu yang bersamaan.

"Eh kenapa tatapan lo jadi aneh gitu deh?" Aku terkekeh pelan, kemudian mengambil minuman karamel dan meminumnya lagi.

"Ya lo nya yang aneh, pas ngenalin diri kenapa tangan lo jadi ngibasin rambut? Gue ngelihatnya kayak lo lagi jadi bintang iklan sampo, padahal kan lo cuma lagi memperkenalkan diri." Aletha menggerutu, tetapi justru itu membuatku tertawa—karena ketika Aletha sedang menggerutu maka pipinya akan mengembung dan itu terlihat sangat lucu.

𝑇ℎ𝑎𝑛𝑡𝑜𝑝ℎ𝑜𝑏𝑖𝑎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang