6 | Kebenaran yang Belum Terungkap.

597 211 415
                                    

Setelah pulang sekolah, aku dan April mengerjakan tugas proyek yang pekan lalu diberikan oleh guru—dan ya, kami mengerjakannya di rumahku sesuai dengan kesepakatan pekan kemarin. Sebenarnya dalam satu kelompok ada tiga orang, dan hari ini katanya Milly akan datang walau sedikit telat dikarenakan ada kepentingan mendadak.

Entah mengapa sejak kejadian yang tadi terjadi di sekolah, aku tiba-tiba kehilangan konsentrasi dalam segala hal. Contohnya seperti sekarang, aku hanya dapat melamun melihat ke arah luar jendela—disana terlihat mentari yang masih memancarkan cahayanya di sore hari.

April mengguncang tubuhku pelan yang sejak tadi masih melamun. "Ra ... fokus dong."

"Jangan mikirin yang tadi nenek lampir bilang, kalau pun hal itu beneran terjadi pasti setidaknya Renjun bakalan bicara sama lo terlebih dahulu." Aku tersenyum tipis ke arah April, dia sepertinya memang mengerti bagaimana pikiran dan perasaanku yang sejak tadi sedang labil.

April menghela napas, sepertinya ia sudah cukup lelah membujuk agar aku tidak melamun terus. "Kiera ... please fokus. Sekaliii aja."

"Sorry, gue mau ke toilet dulu sebentar." Aku bangkit dari karpet lalu pergi ke toilet yang jaraknya memang tidak jauh dari tempat aku duduk tadi, aku melakukan hal ini agar setidaknya pikiranku dapat jernih kembali.

Di dalam toilet, aku menumpu wajahku dengan kedua tangan di depan wastafel. Hari ini sungguh luar biasa, aku benar-benar tidak dapat fokus dengan segala hal yang terjadi. Mulai dari memikirkan perkataan orang tua Renjun yang mengajakku pergi ke Beijing, memikirkan jawaban dari beberapa tugas yang diberikan oleh guru namun hanya diberi waktu sebentar padahal tugasnya terbilang tidak mudah, melihat Renjun yang sakit karena tidak ingin berangkat ke Beijing, bahkan sampai memikirkan perkataan yang tadi diucapkan oleh Lovatta.

Iya, gadis yang tadi berbicara dengan bahasa yang tidak sopan dan membuat aku beserta April tersulut emosi bernama Lovatta.

Aku membasuh wajahku yang terlihat kusam di wastafel, lalu kembali melihat wajahku di cermin yang berada di hadapanku.

"Kiera ... lo harus kuat. Lo bukan cewek lemah." Aku bermonolog di hadapan cermin, seolah-olah meyakinkan diri ini bahwa semua masalah bisa diatasi karena pasti memiliki jalan keluarnya masing-masing.

Setelah beberapa saat, akhirnya aku keluar dari toilet dengan penampilan yang sedikit berbeda karena setelah tadi mencuci wajah, aku pergi ke walk in closet yang berada tepat di sebelah toilet untuk mengganti bajuku dengan baju yang lebih casual untuk dipakai sehari-hari.

"Itu Kiera!" Merasa namaku dipanggil, aku menoleh ke arah April yang memanggil namaku. Disana terdapat seseorang selain April, tapi sayangnya aku tidak dapat melihat wajahnya karena terhalangi topi yang ia kenakan dan orang tersebut sedang merapihkan barang yang ia bawa—seperti sebuah paper bag.

Aku menutup pintu toilet lalu berjalan menghampiri April dan orang yang memakai topi tersebut. "Dia siapa?"

"Coba aja lo lihat, Ra. " Dari sini dapat kulihat raut wajah April terlihat sangat bahagia karena kedatangan seseorang yang memakai topi ini. Apakah dia Milly? Kalau benar, ya pantas saja April terlihat bahagia, karena Milly dan April memang memiliki hubungan yang dekat sama sepertiku aku dan April.

Dan benar saja, ketika gadis itu membuka topi dan menunjukkan wajahnya, ia adalah Milly.

"Ya ampun Milly!" Aku berjalan kemudian menghamburkan diriku ke pelukan Milly. Sungguh rasanya sangat rindu dengan manusia yang satu ini. Sedikit cerita, Milly adalah teman pertamaku saat masuk ke sekolah dan dahulu kita memang sempat satu regu dalam kegiatan pramuka. Dan setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk bersahabat sampai sekarang.

𝑇ℎ𝑎𝑛𝑡𝑜𝑝ℎ𝑜𝑏𝑖𝑎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang