5 | Sakit.

656 254 501
                                    

Setelah mendengar informasi dari Mark, dengan cepat aku pergi meninggalkan kelas untuk menghampiri Renjun yang saat ini sedang terbaring di ruang kesehatan.

"K-Kiera ..." Suara Renjun terdengar sangat berat dan juga lemah, sepertinya ia baru saja sadar dari pingsannya.

Aku berjalan menghampiri Renjun yang terbaring di ranjang kemudian duduk di kursi yang kosong. "Kak Renjun ..."

Bukannya menjawab, Renjun justru memegang lenganku cukup erat. "J-Jangan marah ..."

Aku menunduk, melihat tangannya yang bertumpu pada tanganku. Rasanya hangat. Apakah Renjun demam?

Aku menghembuskan napas, dan ya, tidak ada satupun niat untuk menjawab pertanyaan Renjun tadi. Sepertinya orang-orang juga akan tahu apa jawaban yang aku berikan. "Kamu belum makan berapa jam?"

"Kiera ..." Renjun kembali berbicara, sepertinya ia kurang puas karena pertanyaannya belum dijawab olehku.

"Kak, bisa engga jangan ngebahas hal itu sekarang?" Akhirnya Renjun pasrah, lelaki itu menghela napasnya lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Mark memberiku sebuah mangkuk yang berisi bubur, sepertinya tadi ia membelinya di kantin. "Kamu harus makan, jangan lupa diri."

"Kak ..." Renjun masih tidak mau melihat ke arahku. Sepertinya lelaki bermarga Huang itu sedang marah. Ah, aku lupa bahwa ia akan bersikap sedikit kekanakkan dan manja ketika sakit.

Aku melihat ke arah teman-teman yang sejak tadi melihatku dan Renjun sedang berdebat kecil. Jika boleh jujur, sebenarnya aku merasa tidak enak pada mereka karena harus menganggu kegiatan yang sebelumnya sedang mereka jalani. Seperti Jaemin dan Mark yang tadi sedang latihan untuk lomba, dan Haechan yang sedang dalam proses pendekatan dengan April walaupun gadis itu tidak peka. 

"Kalian semua ... boleh keluar dulu sebentar?"

April, Haechan, Mark dan Jaemin tersenyum tipis lalu mengangguk seakan mengerti dengan maksudku yang ingin berbicara lebih intens dengan Huang Renjun yang ketika sakit maka sifatnya tidak dapat ditebak oleh siapapun.

Aku tersenyum, "Terima kasih."

"Kalau ada apa-apa, langsung bilang aja ya. Aku ada di luar." Aku mengangguk mendengar perkataan Mark. Ternyata mereka memang sebaik itu pada sahabatnya sendiri.

Setelah mereka semua keluar, tatapanku kembali menatap Renjun yang masih mengalihkan pandangannya dariku. "Kak Renjun, makan dulu yuk?"

Hening.

Ruangan ini terasa begitu hampa.

Yang terdengar hanya suara angin yang berasal dari pendingin ruangan, Renjun masih belum mau berbicara.

"Aku engga marah, tapi aku kecewa sama kamu." Dan pada akhirnya, aku menjawab pertanyaan yang tadi diberikan Renjun dengan emosi yang sedikit labil.

"Aku tahu kalau kamu mau ikut lomba, tapi tolong jangan lupa sama diri kamu sendiri. Kesehatan kamu juga penting. Gimana kalau akhirnya kamu engga bisa ikutan lomba hanya karena badan kamu kurang sehat?"

Aku menghela napas, mencoba menghirup oksigen sebelum kembali berbicara. "... Dan ya, aku tahu itu tubuh milik kamu, tapi bisa engga sih engga usah bikin aku khawatir? Aku takut kamu kenapa-kenapa. Ini bukan satu atau dua kalinya kamu kayak gini, kamu udah empat kali melakukan hal yang sama! Gimana kalau orang tua kamu tahu? Apa reaksi mereka? Bukannya bulan depan kamu m—"

"Aku engga pernah bilang mau ikut Beijing!" Renjun berucap dengan satu tarikan napas, dan deru napasnya terdengar begitu terburu-buru. Aku yakin, kini emosi Renjun tidak dapat mengendalikan emosinya.

𝑇ℎ𝑎𝑛𝑡𝑜𝑝ℎ𝑜𝑏𝑖𝑎Where stories live. Discover now