9. Pluvia

18.5K 2.7K 154
                                    

Langit bilang mereka harus pergi ke Pluvia dan mencari cafe Eclipse. Aluna sudah setuju. Tapi, siang ini mereka malah pergi ke Mall di Anixi. Langit beralasan untuk lebih mengenal wilayah klannya dan beradaptasi. Dan Adena kebetulan ingin membelikan beberapa kain pesanan Ibunya yang merupakan seorang designer yang memiliki butik sendiri.

Aluna juga tidak bisa menolak, dia harus mengikuti Langit kemanapun berada. Dan Langit juga sudah berjanji akan pergi bersama ke Pluvia diam- diam tanpa di ketahui Adena.

Apapun yang terjadi, Aluna selalu merasa aman jika berada di samping Langit. Ah, haruskah dia bersyukur terjebak ke dunia asing ini? kalau saja mereka sedang di dunia mereka, Aluna tidak akan memiliki kesempatan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Langit. Aluna tidak akan pernah merasakan mengunjungi pusat perbelanjaan dengan Langit. Hidup Aluna benar- benar di berkahi kali ini.

Pusat perbelanjaan ini tidak ada bedanya dengan pusat perbelanjaan di dunia mereka. Toko roti, pakaian, aksesoris, dan swalayan. Bedanya, orang – orang di sini Cuma memakai pakaian berwarna sesuai klannya masing- masing. Tampak monoton memang, tapi itu sudah menjadi peraturan.

"Aku perhatiin, lebih banyak orang- orang berkapaian warna lain di banding hijau disini," kata Aluna yang memperhatikan setiap orang yang lewat.

Memang kalau di hitung, orang berpakaian hijau cukup sedikit jumlahnya di banding klan lain. Kecuali para pedagang dan pemilik toko yang berpakaian serba hijau khas klan Anixi.

"Memang, semakin banyak klan lain yang mengunjungi suatu wilayah, semakin banyak pendapatan wilayah tersebut. Hampir semua klan belanjanya disini,"

Aluna mengangguk mendengar penjelasan Adena. Pantas saja Anixi di nobatkan sebagai klan termakmur dan memiliki bangsawan kaya raya. Mungkin mirip visa negara. Semakin banyak turis yang berkunjung ke suatu negara, semakin banyak pula pendapatan negera tersebut.

Adena membawa mereka ke satu toko kain. Toko ini sangat luas, tapi kain yang ada Cuma berwarna hijau, biru, coklat dan jingga. Itu saja. Karena memang hanya warna itu yang mereka kenakan. Adena benar, hitam tidak ada disini, karena warna itu di larang.

"Warna merah kok nggak di jual?" tanya Aluna penasaran. "Abu- abu juga," sambungnya. Kalau memang nggak di jual di toko, darimana mereka mendapatkan bahan baju?

"Abu-abu hanya untuk orang istana, jadi kain abu- abu di jahit khusus oleh penjahit istana. Dan tidak di perjual belikan."

"Kalau merah, hanya tiga orang yang boleh memakainya. Raja, Ratu, dan Putra Mahkota."

"Kalau Putri Raja?"

"Raja yang sekarang Cuma punya satu Putra tunggal."

Adena berjalan ke arah rak pakaian berwarna jingga, lalu mengambilnya beberapa, "Ada pesanan baju dari klan Zesti," Adena secara tersirat mengatakan kalau Ibunya menerima pesanan dari klan apapun.

Tapi pikiran Aluna kembali pada malam dia pertama kali ke dunia ini. Di dalam penjara yang redup. Ujung pedang yang di arahkan ke lehernya, dan ksatria berpedang berjubah merah. Iya, jubah merah.

"Makanya kamu tidak boleh memakai baju warna merah lagi," seru Adena saat melihat Aluna sedikit melamun.

"Aku pernah ketemu laki- laki berjubah merah,"

Adena tertawa mendengarnya, "Udah aku jelaskan tadi, Cuma tiga orang yang boleh memakai baju warna merah."

"Di penjara, laki- laki tinggi, tubuhnya tegap dan berjubah merah. Dia yang mengacungkan pedang ke leherku," Aluna memegang lehernya sendiri dan bicara dengan semangat.

"Jadi, maksudmu salah satu anggota keluarga kerajaan Eterio mengacungkan pedang ke lehermu? Siapa?"

Aluna terdiam sejenak.

Infinity Eclipse {Sudah Terbit}Where stories live. Discover now