Prologue

164 25 5
                                    

Prologue.

Begitu musim gugur berlaku, dedaunan kelak berubah warna menjadi jingga sampai cokelat dan luruh memberi kelir pada pijakan. Anila dengan lembut membelai surai russet seorang anindya yang berjalan beberapa langkah di depanku.

Russet... benar.

Sejak awal, aku sudah jatuh se-dalam-dalamnya pada wanodya yang menurutku merupakan musim gugur itu sendiri. Jantungku senantiasa berdegup tak karuan ketika ia mulai menyebut namaku dalam harinya. Darah  dalam nadiku mengalir lebih cepat tatkala iris sangria di balik lensa beningnya itu memandangku teduh kemudian disusul suara tawa yang keluar dari belah bibir ceri kedambaanku.

Tak segan ia membuat kurva di bibir untuk siapa saja yang bersua dengannya, sampai-sampai hal tersebut tentu membuatku gamang. Aku takut. Aku takut akan fakta yang belum terbukti untuk saat ini. Aku takut ia akan meninggalkanku begitu saja demi orang lain yang bertemu dengannya, dan bisa saja orang tersebut jauh lebih baik dariku.

Apabila hal itu terjadi, apa yang harus aku lakukan?

"Aku ingin terus kita seperti ini." Ucapnya tiba-tiba yang mengejutkanku dari lamunan yang menyedot pikiran dan menyita raga di antara heningnya suara.

Di atas jembatan dengan suara ayar sungai bening yang mengalir dengan ikan-ikan berenang, di dalam hutan dengan pemandangan musim gugur yang nyaris serupa dengannya. Saat sinar jingga bercampur kontras kuning yang jatuh menimpa, parasnya bertambah lebih cantik beribu kali lipat. Aku tidak mengerti kenapa hal itu bisa terjadi, namun itulah yang kulihat saat ini.

"M-maksudmu?...." Tanggapku yang ikut berhenti kemudian.

Dengan cepat, ia meraih tanganku. Kulit halusnya yang hangat dan tidak akan pernah aku lupakan saat ia memberanikan diri menggenggam tanganku lebih dulu sebab aku tidak pernah berani meminta hal itu darinya,

"Kamu dingin." Ia mengusap tanganku dengan lembut seolah aku ini anak kucing, "Jika aku mengatakan bahwa aku ingin terus di sisimu, aku mau dengar bagaimana tanggapan yang keluar dari bibirmu, Idia."

"Omong kosong." Tukasku, "Kita tidak pernah tahu yang akan terjadi kedepannya."

Dia tertawa ramah menanggapinya, begitu ramah hingga aku lupa bahwa ia terus-terusan memaafkanku yang acapkali memberi luka semu dalam hatinya atas organ tak bertulang milikku yang berdiam dibalik gigi runcing ini saat menanggapi perkataannya,

Aku salah. Tidak sepantasnya gadis itu aku perlakukan seperti ini.

"Kita sama-sama tahu perasaanmu untukku, dan perasaanku untukmu." Ucapnya meyakinkan. Tentu hal tersebut memberiku sedikit keberanian akan kepercayaan bahwa ia tidak akan meninggalkanku untuk orang lain yang lebih pantas memberikannya sandaran ketimbang aku.

Apakah aku bisa menjadi pendamping yang baik untuknya? Saat aku yang membawanya dalam hidupku? Apa aku bisa?

Aku kembali berjalan mengikuti keinginannya, kali ini gadis itu membawa tanganku dalam genggamannya. Jari kami saling bertautan hingga aku mampu mendengar suara lembutnya yang sering kali dipakai untuk klub teater kampus itu bersenandung pelan sembari sesekali memainkan guguran daun dengan kakinya, "Musim apa yang paling kamu suka?" Ia bertanya sedemikian rupa.

Saat pertanyaan itu keluar, aku semakin mengeratkan tautan jariku. Tidak ingin kehangatan yang ia bagi hirap begitu saja terhebus oleh angin, "Musim?"

Lalu, ia mengiyakan.

Aku sedikit tersenyum simpul mendapati kenyataan bahwa kepalanya mulai bersandar pada bahuku, sembari berjalan. Dan sesekali melirik dirinya yang mencuri-curi pandang untuk melihat cincin pertunangan yang ada di jari manis lentiknya, "Apakah kamu mau membantuku untuk mencari jawabannya?" 

published on wattpad: October 12, 2021.

by: aoiLilac.

revision: January 16, 2024.


AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang