Epilogue

70 16 7
                                    

Epilogue.

Pintu yang menghubungkan kamar dan balkon telah dibuka lebar-lebar oleh Russet sejak ia melihat baskara yang menabur afsun lewat sinarnya yang menyilaukan. Matahari pagi menyapa dengan serayu sejuk yang membawa hima tipis yang begitu dekat dengan udara. Musim semi terasa begitu dekat, aku tidak pernah tahu indahnya musim semi jika Russet tidak mengenalkanku pada salah satu dari empat musim ini.

Aku benar-benar merasa hidup ketika gadis itu mewarnaiku setiap harinya.

Irisku belum mau berhenti menatap seorang wanita muda yang berada di sebrangku. Seperti biasa, ia nampak begitu elok dengan gaun santai berwarna cerulean dan surai coklat kedambaanku yang kali ini dicepol menyisakan banyak rambut untuk membingkai wajahnya.

Bibirnya ranumnya terus membentuk sebuah senyum, tatkala ia mendapati tangan lain yang begitu kecil tengah meraba wajah dan bibirnya. Russet selalu mengatakan bahwa putra kecilnya itu memiliki kemiripan luar biasa denganku. Dan menurutku, pernyataan tersebut kurang tepat. Lihat saja, anak itu memiliki surai coklat yang sama dengan ibunya, yah, walau pun irisnya mirip sepertiku, namun, aku bisa melihat bahwa garis wajahnya sangat menuruni sang ibu.

"Bagaimana, sudah tertidur?" Aku berbisik ke arah Russet,

Russet memberikanku tolehan, dari matanya, aku bisa menilai bahwa Russet ingin aku mendekat tanpa suara.

Dan tentu saja, aku menurutinya. Alasan aku berada di seberang istriku sendiri, tak lain dan tak bukan adalah, Daffodil yang terus menangis jika aku mendekati ibunya. Sungguh, bukan salahku. Aku tidak mengerti apa pun soal mengurus bayi, dan aku tidak mengerti apa kesalahanku yang membuat anak itu selalu menangis jika aku menyentuhnya sedikit?

Darimana tangisan itu berasal? Aku sungguh tidak tahan dengan tangisannya. Namun, ajaib, ketika Russet telah menggendong Daffodil dalam dekapannya, ia terdiam. Dan mulai berbicara satu atau dua kalimat seperti..., 'baaa, baaaaa.' begitu.

Sebuah rahsa menggulir dalam sukma ketika suara yang begitu kecil itu menembus gendang telinga. Baru pertama kalinya, hatiku begitu luluh mendengar suara kecil begitu, bagaimana bisa aku menggambarkan perasaanku saat ini?

"Apa kubilang." Ucapku ketika Russet telah menyadarkan punggungnya pada dadaku,

"Kamu belum bilang apapun, Idia. Kamu kira, memangnya aku bisa telepati?"

Aku tertawa kecil, kenapa gadisku menjadi galak seperti ini? Aku tidak mengerti. Namun, hal tersebut sama sekali tidak meredupkan keinginanku akan dirinya. Arumi sabun sereh yang keluar dari setiap inchi kulitnya terus menggodaku,

"Hentikan hentikan."

Aku tertawa.

"Aku bosan, deh, keluar, yuk?" Ia mengajakku dengan tatapan yang tidak bisa kuelak. Aku mengecup singkat bibirnya,

"Nanti," tanggapku, "Jika putramu menginginkan ibunya disaat kamu tidak di rumah, bagaimana?"

Bisa aku lihat, ia mengerucutkan bibirnya.

"Kamu mau ke mana memang?" Aku kembali bertanya,

"Ke tempat di mana kamu waktu itu mengajakku, dan membiarkanku main ice skating?"

"Ohh," Aku ingat sekarang, dan saat ini, aku begitu malas untuk keluar rumah. Hm, aku harus memutar otak untuk mengalihkan pembicaraan supaya wanita ini tidak terus-terusan menatapku dengan tatapan penuh permohonan begitu,

"Kamu masih ingat ketika bertanya padaku, perihal musim apa yang paling aku suka?" Aku bertanya, diikuti jari telunjukku yang sedikit mengusap pipi halus daripada bayi yang berada dalam gendongannya,

"Hm, masih." Russet menjawab, "Oh, iya, Idia sudah menemukan jawabannya?"

Aku sedikit tersenyum simpul mendapati bahwa Russet telah teralihkan oleh saat ini. Mudah sekali mengalihkan perhatiannya, haha.

Bicara tentang musim, Russet selalu mengenalkan banyak hal padaku. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan dengan sungguh-sungguh. Teriknya musim panas, bekunya musim dingin, mekarnya musim semi, hingga layunya musim gugur.

Semua punya kecantikan masing-masing.

Dan beberapa hal lain yang tidak bisa kusebutkan satu persatu.

Wanita ini telah memberikanku banyak warna, dalam embusan angin yang menyapa kulit kami, irisku memandang sejenak keluar. Dersik mulai membelai pohon-pohon diluar sana. Kurasa aku mulai tahu jawabannya,

Aku kembali memberikan atensi untuk irisnya yang nampak menunggu jawaban dariku.

Sejenak, aku mencium dahi putraku lamat-lamat, setelahnya mencium kening istriku,

"Dengar ini baik-baik, Russet. Aku berterima kasih padamu yang telah masuk dalam kehidupanku. Aku tidak mengerti apa yang kulakukan di masa lalu, hingga seorang dewi datang dalam hidupku."

Russet memasang telinga baik-baik,

"Tidak pernah kubayangkan, aku bisa memiliki perasaan yang sebesar ini. Kamu mengajarkanku apa itu kasih sayang, kamu memberikannya untukku. Kamu mengajarkanku ketulusan, aku menerimanya darimu. Kamu adalah cinta yang aku cari. Tidak peduli, apa musim yang kulalui, ketika kamu dan putraku berada di sisiku, aku bisa merasakan kebahagiaan yang selama ini hirap dariku, Russet."

"Aku sangat bersyukur ketika kau memberikanku cincin dan menyatakan perasaanmu padaku." Ia terkekeh, "Tentu, cincin pertama darimu, masih aku simpan dengan baik." Ia memberikanku sebuah kecupan di dahiku, "Aku begitu mencintaimu. Bagaimana aku menggambarkan perasaan ini untukmu, Idia?"

Tidak ingin membuat wajahnya yang berseri itu memudar, aku mengadu dahiku dengan dahinya, mengatakan sebuah kalimat yang tidak mungkin aku katakan pada siapapun dalam dunia ini,

"Aku mencintaimu, Russet Shroud."

Sepenuh hati kukatakan, wajahnya begitu terpukau dengan hal yang baru pertama kali didengarnya dariku.

Siapa sangka, pertahananku luluh terhadap seorang gadis asing yang tidak pernah menyerah terhadapku. Siapa sangka, aku akan mengajaknya dalam hidupku. Dan memberikanku seorang putra yang semakin membuatku jatuh padanya. Dan aku rasa, aku tidak mampu lagi untuk bangun ketika gadis itu selalu memanggil namaku dengan suara lembutnya.

Demi sang pencipta jagad raya, 

Tolong jangan biarkan aku mengecewakannya,

Demi sang pemilik semesta,

Tolong jangan biarkan aku membuatnya menangis,

Tolong kuatkan aku agar bisa menjaganya,

Karena hanya Russet kekuatanku,

Hanya gadis itu kelemahanku,

Hanya wanita itu tempatku untuk pulang.

Dan aku mencintainya,

Demi Tuhan...

Aku benar-benar mencintainya.

Pandemic Project,

an Twisted Wonderland Fanfiction,

Autumn

by; aoiLilac.

End Here.

Date of update: December 09, 2021.

by: aoiLilac. 

revision: January 31, 2024.

AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang