Four

65 19 0
                                    

Limerence. 

Tidak bisa diam.

Mungkin istilah begitu, sangat cocok disematkan untuk sang kekasih sejak ia tinggal dalam kediaman Shroud yang begitu hening serta begitu sepi.

Pemuda biru dengan tinggi 183cm sedikit melirik pada jendela kamarnya lewat hordeng yang sengaja ia singkap untuk sesaat. Iris ambernya menemukan seseorang yang ingin ia lihat saat pertama membuka mata, istilah kerennya'qualtagh'. Tampak pendar baru yang bergerak lurus-lurus begitu Idia menemukan Russet tengah menunjukkan seulas senyum dari tempat sang hawa berpijak.

Russet tampak tengah berada di kebun semak. Yang Idia tebak, itu adalah kebun semak buah-buah beri dan beberapa buah lainnya. Dalam jangkauan Idia, gadis itu tidaklah sendirian. Dua orang wanita lain yang bekerja di huniannya tampak tidak jauh-jauh dari sang nona. Sesekali satu dari mereka akan menjawab hal-hal yang ditanya oleh Russet saat gadis muda itu menunjukkan sesuatu dari keranjangnya.

Tanpa sadar kedua sudut bibir Idia mulai tertarik begitu irisnya mengikuti ke mana langkah kaki membawa kekasihnya pergi dari semak buah.

Idia memutuskan untuk mengikat surai panjangnya sebelum berjalan mengendik keluar kamar. Sedikit mengeluarkan kepala dari bibir pintu, menoleh kiri kanan untuk memastikan bahwa tidak ada presensi dari orang lain, Idia memulai langkah pertamanya untuk keluar dari kamar besar yang sejuk.

Bagus, ya, seperti maling dalam istana sendiri.

"Tuan muda?"

"Hi!!"

Ah, sial. Tampaknya Idia gagal untuk keluar kamar secara diam-diam tanpa diketahui oleh orang lain.

"Ah—ha. N—nona... Apa nona masih... berada dalam kebun?"

Warna surai wanita yang memergokinya itu sudah mulai memudar. Diketahui, ia adalah kepala pelayan sekaligus orang kepercayaan ibunda dari Idia untuk mengurus pondok yang luar biasa besar dan dihabiskannya kesepian dalam setiap detik yang berdetak.

Wanita itu menundukkan pandangan sebelum kembali menjawab pertanyaan dari sang tuan. "Masih, Tuan." Sahutnya lemah lembut, "Nona kini tengah berada di rumah kaca untuk melihat sayur-sayur yang ada di sana. Perlu kuberitahukan jika Anda telah keluar kamar?"

Idia terhenyak,

"Ti—tidak perlu!" Tahan sang pemuda, "Biar aku... yang akan menghampiri gadisku."

Kepala pelayan itu tersenyum, Idia yang paham maksud senyum tersebut adalah senyum penuh makna hanya sibuk menutupi wajah dengan surainya sendiri sebelum kepala pelayan itu kembali pamit untuk mengerjakan tugasnya yang lain.

Tentu, kepala pelayan—ah, tidak. Semua orang yang bekerja dalam mansion itu merasa sangat bersyukur atas perubahan sikap yang terjadi pada tuan mudanya. Idia tidak lagi merasa ragu untuk bersandar atau memeluk Russet dimana pun wanita itu berada. Dan fakta bahwa Russet lebih sering berada di lantai bawah atau paviliun ketibang di dalam kamar dan hal tersebut membuat Idia keluar dari sarangnya, tentu hal tersebut adalah sebuah kemajuan.

Setidaknya, tuan muda mereka kini mau berjalan keluar kamar walau masih dalam lingkungan rumah dan mempunyai motivasi untuk melakukan hal apa pun, walau tak jarang Idia terkadang kurang suka melakukan hal yang diajak oleh kekasihnya.

Dengan langkah mengendik, ia menuruni tangga yang dilapisi karpet tebal. Tenggorokan terasa begitu kering saat melangkah, Idia memutuskan untuk pergi ke dapur terlebih dahulu untuk mengairi tenggorokan yang terasa seperti sehabis menelan satu genggam pasir.

"Idia sudah keluar dari peradaban? Tadi aku lihat masih enggan untuk bangun."

Suara familiar itu membuatnya terkejut hingga kedua bahunya ikut menegang. Idia kembali memutuskan untuk melihat sosok elok yang selalu membuatnya tenang,

AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang