Seven

64 17 1
                                    

Epoch.

Tidak pernah ada yang benar-benar membuat Idia gusar. Ia sendiri bahkan lupa bagaimana perasaan gusar itu yang dikatakan mampu bisa mempora-porandakan isi hati ketika pikiran dan kalbu tidak sejalan. Dengan pengaturan napas yang payah, pemuda bersurai biru itu setia menemani sosok yang terbaring dengan mata terpejam. Pemuda itu bahkan tidak memperbolehkan siapa saja masuk, kecuali dirinya hingga ia benar-benar bisa melihat iris coklat kemerahan yang selalu memandangnya penuh kasih.

Bagaimana bisa, bagaimana bisa dirinya mendadak mendapat panggilan telepon masuk dari digit seorang Rook Hunt yang mengabarkan bahwa Russet tidak sadarkan diri ketika ia mengajak grup mahasiswa barunya untuk mengenal lingkungan kampus. Padahal Idia pun masih sempat melihatnya menjadi seorang kakak penanggung jawab dalam grup mahasiswa barunya. Itu terjadi belum lama, sungguh. Idia masih sempat melihat tawanya dari jauh, Idia sedikit tersenyum melihatnya menanggapi pertanyaan dari beberapa beberapa mahasiswa baru tersebut. Dan Idia menahan tawa saat Russet sedikit menjewer telinga Jamil Viper entah sebab masalah apa.

Itu baru saja terjadi, sebelum ia kembali menutup diri di dalam kamar asramanya dari lingkungan kampus.

Idia Shroud hidup dalam rasa trauma yang membuatnya kerap kali mengalami kengerian untuk ditinggal. Idia takut akan kehilangan, dalam setiap napas yang dihirup dan diembuskan, yang terasa pekat adalah kecemasan yang semakin merambat dalam hati yang menggerogoti pikirannya. Amber tidak sengaja melirik pada jam besar yang ditempatkan pada pojok ruangan. Terdapat dua belas kasur kosong, salah satu dari mereka ditiduri sosok yang membuat Idia harus menelan asa dalam setiap detiknya. Satu setengah jam semenjak Russet benar-benar tidak menunjukkan tanda untuk dirinya kembali sadar.

Serayu merebak masuk dari jendela yang dibuka, mengajak menari hordeng abu dari ruang kesehatan kampus yang dipenuhi aroma antiseptik. Idia mulai tenggelam akan pikiran negatif yang melahap benaknya sedikit demi sedikit.

Idia memandang gamang, tolong, kali ini ia benar-benar berada dalam ketakutan,

"Russet, tolong bangunlah," Lirihnya. "Aku tidak mau ditinggal lagi..."

Stres? Tentu saja.

Surai birunya pun semakin lama semakin meredup.

Idia perhatikan lagi pahatan wajah yang ditimpa sinar senja dari jendela. Bagaimana bisa wajah itu tampak begitu tenang walau persen akan siumannya masih belum Idia perhitungkan sebab rasa takut telah menguasainya lebih dulu.

Jari-jari pucat pemuda itu mulai menelusuri kulit wajah bak porselen milik kekasihnya dengan lembut. Kemudian ibu jarinya bergerak menuju bibir yang Idia paham betul bagaimana candu cecapnya hingga Idia hapal bagaimana teksturnya.

Tidak.

Idia tidak mau lagi memiliki retislaya semenjak sesorang telah berhasil menyembuhkannya. Tidak disaat ia telah memiliki seseorang yang pantas untuk dijadikan sandaran olehnya saat ini. Benak Idia mulai tidak stabil. Ia mulai menggigit telunjuknya sendiri hingga darah berhasil merembes keluar dari kulitnya, "Tidak adil..." gumamnya. "Masih banyak... Hal yang ingin kulakukan bersamamu."

Sudah cukup bagi Idia untuk menunggu, sebelum suara erangan kecil berhasil menembus gendang telinganya pertanda sosok yang terpejam mulai berjuang untuk membuka matanya kembali.

"Dewiku!" kejut pemuda itu,

Indra penglihatannya mulai terbuka untuk menunjukkan iris cokelat kemerahan bening yang Idia dambakan. Idia bernapas lega saat sosok itu meminta bantuannya untuk duduk walau kepala masih terasa sangat berat. Air telah diteguk dengan susah payah sebelum raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran luar biasa saat mendapati Idia yang benar-benar enggan menatapnya.

"Idia..."

"Jahat kamu, ya."

Tuduhan langsung dijatuhkan.

Dalam hening, keduanya sama-sama ditertawakan oleh detik jarum jam yang terus maju. Russet menyunggingkan senyum sebelum meyakinkan diri untuk membawa kedua tangannya pada sisi kepala Idia, memaksanya untuk beradu pandang.

"Lihat aku... Jangan memalingkan wajahmu."

Namun, Idia tetap berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat iris cokelat miliknya. Idia tidak mau wajahnya terbias dalam iris coklat yang membuatnya kemballi tenggelam dalam rasa trauma masa lalu. Tidak, Idia tidak mau.

"Idia Shroud."

Hatinya tersentak. Nama lengkapnya begitu jelas terpanggil dalam desibel paling rendah, namun Idia bisa mendengar sebuah ketegasan dalam intonasi wanitanya yang nampak meminta atensi penuh saat ini.

Idia mulai menoleh. Tanpa disangka bahwa sosok yang memanggilnya masih dengan sabar menunggu dirinya sembari mengembangkan senyum terbaik yang bisa ia buat. Kampa begitu terasa saat Russet mulai mengadu dahinya dengan dahi Idia.

"Maafkan aku, Idia."

"Aku... Aku hanya takut kamu meninggalkanku pergi."

Tentu Russet sudah paham apa yang membuat sosok Idia merasakan ketakutan yang hebat. Russet bisa melihat ketakutan yang terpancar dari iris amber milik kekasihnya saat ia mencoba menjauhkan diri dari Idia. Untuk memastikan bahwa Idia baik-baik saja, namun hal tersebut salah.

Ada ketakutan yang masih tertinggal dalam sorot matanya. Russet harus sebisa mungkin menenangkan sosok yang masih hidup dalam kubangan masa lalu.

"Aku janji, Idia. Aku tidak akan membuatmu merasakan hal yang sama."

Idia bisa melihat tatapan penuh kasih sayang Russet yang membuatnya kembali merasa aman dan nyaman. Hanya wanita itulah satu-satunya pusat yang menjadi dunianya. Hanya Russet-lah orang yang pantas dijadikan tempat pulang olehnya.

Ia mulai sedikit menyimpulkan seulas senyum, Russet tidak lagi mampu menahan kemauannya untuk mencium lamat kening Idia yang tampak ketakutan. Dan sungguh, ketakutan yang dirasakannya sirna begitu kekasihnya telah memberikannya sebuah sentuhan yang ia butuhkan.

"Mari sembuhkan luka kita sama-sama... Kamu dan aku."

date of update: November 04, 2021.

by: aoiLilac.

revision: January 17, 2024.

AutumnWhere stories live. Discover now