Six

61 16 2
                                    

Hiraeth.

Napas penat beruap lolos dari mulut si biru saat kembali menginjakkan kaki dalam mansionnya yang begitu sepi. Di bawah indurasmi cerah, ia memandang pada bulan purnama biru sebelum suara menyapanya. Kepulangannya disambut oleh beberapa orang yang bekerja di dalam hunian. Idia sedikit tersenyum mendengar jawaban yang dilontarkan oleh salah satu sosok yang menyambutnya. Sesaat setelah ia menjawab sapaan dari orang-orang yang menyambutnya. "Nona sudah tertidur, tuan. Nona mengatakan kepulanganmu ditunda."

"Aku iseng saja bilang begitu." Idia tergelak. "Siapa sangka ternyata Russet percaya."

Beberapa orang di sana tidak bisa menahan tawa kecilnya.

"Apa saja yang dilakukan nona selama aku tidak di sini?" Tanyanya. Idia bisa melupakan gugup gagapnya saat pembicaraannya menyangkut tentang Russet.

Mungkin Idia memang seorang yang selalu aktif pada panggilan yang dilakukan dalam jarak jauhnya. Pemuda itu selalu ada dalam panggilan yang Russet lakukan untuknya, tetapi sebuah pekerjaan yang menantinya tidak bisa ditinggal dan diabaikan begitu saja. Sehingga Idia mau tidak mau sangat jarang menerima panggilan atau mendengar suara Russet dalam hari-harinya selama nyaris satu bulan. Dan gadis itu mengerti, ia merasa sangat cukup ketika Idia sudah membalas pesannya, atau Idia yang memulai panggilannya lebih dulu. Itu berarti kekasihnya memiliki waktu yang cukup luang sehingga komunikasi kembali terjalin dalam jarak yang bisa dikatakan sangat jauh.

"Nona lebih sering menghabiskan waktunya di perpustakaan, atau keliling dengan kudanya, tuan."

"Sendiri? Maksudku, kalian membiarkan nona sendiri dengan kudanya saat keliling?"

"Tidak tuan," Sahut salah satu abdinya. "kami tidak pernah membiarkan nona sendirian."

Idia bernapas lega sekarang. Ia cukup tenang bahwa tahu kalau Russet benar-benar tidak dibiarkan sendirian seperti pesan yang ia tinggalkan pada seluruh orang yang berkerja dalam mansionnya, "Baik. Terima kasih. Istirahatlah, aku juga ingin tidur."

"Baik." Sahut beberapa orang serempak sebelum membubarkan diri pada tengah malam menuju dini hari.

Biasanya, 

Jika sehabis dirinya mendatangi pertemuan keluarga besar dan belajar ini itu untuk menjadi kepala keluarga kelak, si tuan muda hanya langsung menutup pintu kamar rapat-rapat. Dan kembali menghabiskan waktu sebagai pemuda yang jarang tidur dan menatap layar komputer untuk permainannya hingga pagi membelah tirai kelabu.

Namun, saat ini sudah berbeda situasinya.

Pemuda itu tidak peduli dengan mantel yang ia gantungkan sembarang pada sebuah sofa di dalam kamarnya. Tidak peduli pada setelah kemeja dan celana bahan yang masih melekat pada tubuh tingginya, Idia mulai membuka pita rambutnya perlahan.

Kasurnya selalu kosong saat ia kembali, namun saat ini telah ada seorang gadis yang tidur di atasnya. Tidurnya begitu lelap dengan binder berukuran sedang yang ia pegang dalam tangannya, entah apa yang ditulis oleh pujaan hatinya, Idia langsung menyingkirkan benda tersebut dan memandangi satu sisi wajah yang tertidur pulas.

Dalam pandangan subjektif yang ditangkap oleh iris ambernya, Russet yang terlelap tampak begitu damai. Idia hanya ingin memandang wajah yang hilang dalam hari-hari terakhirnya. Idia hanya ingin mendengar suaranya, seperti sebuah musik pengiring yang siap mengantarnya tidur. Idia ingin menjelajah setiap kulit pipi gadis itu. Idia hanya ingin memeluknya hingga hari berganti.

"Aku tidak tahu perasaan apa ini..." Ia bergumam sembari menyingkap surai kecoklatan Russet, "Namun, aku hanya menginginkan sosokmu saat pertama aku melangkahkan kaki keluar dari sini."

AutumnWhere stories live. Discover now