3. Bertemu Perdana

108 14 0
                                    

Di dunia ini, sepertinya semua bocah ingusan tercipta untuk bertanya banyak hal. Terkadang, pertanyaan absurd mereka keluar spontan dan orang dewasa dibuat kelabakan memikirkan jawabannya. Seperti pertanyaan mengenai sarang lebah. Kenapa lebah selalu membuat sarang dengan bentuk segienam? Kenapa mereka tidak membuat sarang dengan bentuk segitiga, segilima, atau persegi? Bukankah lebih mudah menggunakan sarang berbentuk persegi? Sisi-sisinya tidak sebanyak segienam. Tinggal direkat, beres.

Pertanyaan itu Wisnu tujukan kepada papanya, Prabu. Hasilnya, hanya kuap dan gelengan yang dia dapatkan. Setelah besar dan bisa mencari tahu jawabannya sendiri, Wisnu akhirnya paham kenapa lebah-lebah itu membuat sarang berbentuk segienam.

Tidak ada bangun ruang lebih sempurna dari segienam. Segitiga atau segilima memiliki sisi yang tidak bisa direkat oleh lem alami lebah yang terbuat dari nektar, atau kita menyebutnya dengan lilin. Jika menggunakan selain segienam, selalu ada celah kosong. Menggunakan segiempat atau persegi, memang tidak ada celah kosong, tetapi bahan baku lilin yang dibutuhkan jauh lebih banyak. Jadi, kesimpulannya, kantong segienam merupakan bentuk terbaik dengan daya simpan terbesar dan dengan bahan baku lilin paling sedikit. Wisnu dibuat takjub oleh informasi tersebut.

Mereka―lebah-lebah itu―adalah binatang paling pintar di dunia, sekaligus pemuja detail, dan pelit. Mereka membangun sarang satu demi satu dari ujung sampai tengah, dan semakin mengecil untuk menampung nektar. Perpaduan antara nektar, corong dalam perut lebah, ludah dan kepakan sayap menghasilkan cairan yang disebut madu. Dalam kitab suci agama samawi, air di surga rasanya pun seperti madu.

Oleh karena itu, Wisnu percaya semua makhluk dibekali usaha seperti lebah, termasuk manusia. Memulai semuanya dari awal, setapak demi setapak hingga menemui kesuksesan.

Lahir dari moyang tuan tanah dan berpindah profesi menjadi pengusaha kuliner di daerah Manukan, Surabaya, menjadikan Wisnu sosok yang menghargai sebuah proses. Oleh Prabu, Wisnu kecil diserahi tugas untuk menjaga peninggalan nenek moyang mereka berupa wajan, di usianya yang baru sembilan tahun. Olahan pertamanya adalah nasi goreng. Kebetulan, waktu itu yang bantu-bantu di dapur hanya sampai sore hari.

"Nu, sisa nasi jagung sama nasi putih yang ada di dapur tolong digoreng saja. Papa tiba-tiba pengin nasi goreng. Tapi nggak usah pake telur, ya. Amis. Papa nggak suka," suruh Prabu saat Wisnu sedang asyik menonton televisi.

Wisnu meneleng, semringah. Dia dekati Prabu yang sedang duduk di kursi rotan dengan langkah cepat. "Aku bantuin Papa masak, gitu? Kebetulan aku lihat di pekarangan ada cabe yang masih muda. Yang merah-merah juga belum sempat dipanen."

"Lho, kalau seperti itu Papa yang masak, dong. Papa maunya nasi goreng bikinanmu."

"Aku belum pernah bikin nasi goreng, Pa."

"Tapi sudah pernah bantu-bantu di dapur, tho?"

"Bantu potong-potong sayuran, balik tempe tahu di wajan, bantu cuci beras, cuci piring sama gelas. Sudah... itu saja." Wisnu seketika cemberut saat tahu Prabu tidak bereaksi apa-apa selain terkikik dengan penjelasannya barusan. Jeda cukup lama terjadi setelah Prabu berhenti tertawa. "Papa beneran mau nasi goreng buatanku?"

"Beneran. Coba kamu buat nasi gorengnya, nanti Papa icip," terang Prabu datar. "Masa anaknya yang punya Rumah Makan Daharan nggak bisa masak? Nanti diketawain sama pintu dapur." Dia towel hidung anak semata wayangnya itu supaya tidak merajuk lagi.

Berganti Wisnu yang terkekeh dengan celotehan Prabu. "Kalau nanti rasanya nggak enak, gimana?"

"Memangnya waktu belajar jalan dulu kamu nggak pakai jatuh segala? Langsung bisa jalan gitu? Kan, ya, nggak?!"

"Kalau nanti Papa mencret, gimana?"

"Tenang. Ada norit (obat diare) di lemari obat. Jadi, aman." Prabu memamerkan gigi-giginya yang mengilap. "Agak cepat masaknya ya, Nu. Papamu wis lapar dari tadi."

Resep Rahasia BaskaraWhere stories live. Discover now