13. Perjalanan Meraih Cita

48 7 8
                                    

Dua tahun berlalu....

Prabu bangga melihat Wisnu berada di dapur tanpa disuruh, baik di hari biasa atau di hari minggu. Awal-awal Wisnu bangun pagi tanpa dibangunkan dengan seruan menjadi hal membahagiakan untuknya. Dia masih tak percaya ketika kegiatan itu tetap berlangsung saat Wisnu bersekolah di sekolah kejuruan setara SMA dengan program studi Food and Beverages Product. Betapa senang papanya meski ada sedikit ganjalan di hati. Putranya tidak lagi bercerita padanya, terlebih rencana-rencananya ke depan.

Namun, Prabu tak patah arang. Buktinya, seringainya terbentuk ketika mengawasi pekerjanya di dapur, sekaligus mendengar percakapan antara Wisnu dan Baskara yang berbeda lokasi.

"Di," panggil Prabu ketika bapak Baskara sedang memindahkan sayur lombok dari atas kuali ke mangkuk saji, "sini sebentar. Aku mau ngomong."

"Inggih." Buru-buru Hadi mendekat setelah mengamankan masakannya lebih dulu. "Ada apa, Pak?"

Dagu Prabu mengedik ke arah dapur darurat yang bersebelahan dengan jalan menuju pintu belakang. Sengaja Prabu memerintahkan anak buahnya untuk membuatkannya luweng baru supaya Wisnu mau belajar memasak tanpa gangguan.

"Menurutmu, apa yang dilakukan Baskara dulu sampai Wisnu mau ke dapur tanpa harus mencureng seperti yang kita sama-sama tahu?"

Hadi mengernyit, kemudian menggeleng karena tidak menemukan jawaban yang pas.

"Kamu kok ya nggak cari tahu dari anakmu, tho, Di. Masa aku harus bayar polisi buat menyelidiki modelan begini?"

"Oh, sebentar, Pak―"

"Eh, mau ke mana?" Prabu segera menghentikan niatan Hadi yang akan melaju menuju tempat anaknya dan putra majikannya itu berada. "Nggak usah. Biar aku saja yang cari tahu."

"Inggih, Pak. Maaf," setelah membalas, Hadi pamit kembali ke perkerjaannya.

Supaya tidak mencurigakan, Prabu pura-pura memeriksa pintu belakang untuk menuju tempat meletakkan kayu bakar sebelum mendekati kedua bocah yang sejak tadi asyik mengolah makanan.

"Masak apa kalian?" tanya Prabu setelah jarak terpangkas.

"Lagi masak...." Wisnu mendongak dari pekerjaannya menumis bumbu kare, kemudian ogah melanjutkan kalimatnya.

"Kami lagi praktik masak kare ayam bumbu pepak, Pak. Soalnya di sekolah nanti kebagian tugas ini," sahut Baskara sedikit merunduk membenarkan letak kayu bakar dalam tungku. Dia merasa sungkan, menyadari jeda dan tunggu dari Wisnu dan Prabu.

"Sepertinya bumbu yang kalian tumis sudah kecium harumnya. Sebelum masuk rempah daun, jangan lupa batang serai digeprek dulu supaya aromanya keluar," Prabu menjelaskan, mencoba tidak tersinggung dengan perlakuan putranya. "Pakai ayam kampung kan, ya? Apa ayamnya sudah direbus? Biar empuk dagingnya."

"Sampun, Pak."

"Sudah, Pa."

Kemudian, hening. Cukup lama.

"Maaf, saya izin ambil kayu bakar dulu," pamit Baskara ketika mendapati Prabu duduk di amben untuk menaruh bumbu-bumbu dapur yang mereka pergunakan. Dia menyibukkan diri dengan menata stoples yang masih terbuka dan belum dikembalikan ke tempatnya. Menyaksikannya, rasa bersalah memenuhi kepala Baskara.

Sebagai balasan, anggukan kecil Prabu memancing helaan napas panjang Wisnu. Sudah dua tahun mereka jarang mengobrol. Prabu sibuk dengan Rumah Makan Daharan karena berniat membuka cabang baru, sementara Wisnu sibuk dengan sekolah. Jurang menganga lebar dan sepertinya keduanya enggan membangun jembatan untuk menyeberanginya.

"Papa senang kamu akhirnya paham kalau masa depan itu harus dipersiapkan," Prabu mencoba membuka obrolan kembali. "Salah satunya dengan belajar memasak."

Resep Rahasia BaskaraWhere stories live. Discover now