21. Upaya Menelan Gundah

63 5 8
                                    

Belum lepas sehari, Baskara sudah kembali ke resto. Namun, kali ini dia tidak di dapur atau di kantor, melainkan di kursi; tempat dirinya mengamuk pagi tadi.

Dia duduk sambil membungkuk. Kedua sikunya ditumpukan ke meja. Kaus hitam dan wajah muram yang ditampilkannya menunjukkan seolah habis dari pemakaman. Akibatnya, kasak-kusuk timbul-tenggelam di beberapa sudut restoran. Setiap kali tatapan sang pelaku segaris dengan orang yang digosipkan, tidak ada yang berani melanjutkan. Lebih bijak jika mereka segera menyibukkan diri daripada terkena terjangan emosi.

Tiba-tiba, Baskara mendongak dan beranjak menuju dapur.

"Bahaya," Musleh lebih dulu menyadari langkah Baskara mendekat ke arah dapur.

"Kita harus mulai baca-baca doa," Ramon menimpali seraya mengerjakan pekerjaan apa pun yang ada di hadapannya.

Semua penghuni dapur kompak memasang tampang khawatir, kecuali Dani.

Karena merasa ada yang perlu ditindaklanjuti, demi chef Resto Kenanga ikut mengarahkan pandangan usai mendengar gumaman anak buahnya. Belum sampai dia buka suara, sosok yang dibicarakan sudah berhasil memangkas jarak.

Keduanya bersitatap.

"Ikut aku sebentar," Baskara berkata dari sisi depan open kitchen dan berlalu tanpa menunggu laki-laki itu mengekor.

Bersamaan dengan Dani berbalik badan dan akan pergi, Fadli mendekat.

"Biar saya yang gantikan sementara, Pak," anak buahnya itu menawarkan diri. "Buruan disusul Pak Baskara-nya, daripada keluar tanduk. Nanti Pak Dani sendiri yang repot."

Dani tersenyum. Dia menggeleng-geleng sembari melepas apron. Anak buahnya sontak menghela napas lega. Musleh bahkan mengacungkan kedua jempolnya untuk inisiatif Fadli.

"Aku heran, jomlo sebaik kamu kok belum laku juga, Fad. Pengin aku pacarin tahu, nggak," Ramon berkelakar dan seketika merinding mendengar ucapannya sendiri.

Fadli berkacak pinggang dan memicing. "Mending aku panggil Pak Dani supaya balik ke dapur aja kali, ya?"

"JANGAN!" ketiga orang penghuni dapur kompak berseru.

***

Di bangku panjang taman samping, Baskara memantik rokok dan mengembuskan asapnya lambat, membubung pekat karena terlalu dalam mengisap. Dipandanginya langit kelam tanpa bintang ketika Dani muncul dan duduk di sebelahnya.

Baskara kemudian mengulurkan sekotak rokok miliknya, tetapi Dani menolak.

"Habis ini aku mau bikin adonan. Males kalau harus cuci tangan bolak-balik sampai bersih," ujarnya datar.

Cowok itu sampai menoleh, tidak memercayai pendengarannya. "Kata bapakku, pamali nolak pemberian orang."

"Sayangnya aku bukan bapakmu. Dan aku tahu bukan bapakmu yang bilang seperti itu, tapi Pak Prabu. Papanya Wisnu. Iya, kan?"

Baskara melayangkan pandangannya sambil memasukkan kotak rokoknya kembali ke saku. "Jangan sebut dua nama itu sekaligus. Aku bisa menghajarmu."

"Kamu sekarang sok jagoan, ya?"

"Seharusnya sudah sejak dulu aku menghajar mereka. Sekarang, kemarahanku sudah nggak bisa dibendung lagi."

"Setelah itu, apa yang kamu dapatkan? Babak belur? Iya kalau cuma itu. Bagaimana kalau sampai masuk penjara? Kamu sendiri yang rugi sementara mereka tepuk tangan."

Baskara membisu. Dia tahu, temannya itu benar. Kata-katanya seringnya tepat sasaran, bahkan beberapa kali menamparnya telak.

"Kayaknya aku lagi butuh saranmu," Baskara berkata sambil kembali memandangi langit kelam.

Resep Rahasia BaskaraWhere stories live. Discover now