6. Seiring Tak Berima

74 10 14
                                    

Seolah cerita dongeng, hidup Cahaya tampak berwarna dilihat dari kacamata Baskara. Terlalu mudah, terlalu enak seperti tiada jalan terjal di tiap lembar yang terbuka, tanpa konflik, tanpa masalah besar. Mungkin bagi sebagian orang kehidupan Cahaya tergolong lempeng, tetapi bagi Baskara terlalu indah untuk jadi kenyataan. Cahaya tidak perlu repot-repot menyembunyikan banyak hal, terutama luka apalagi duka.

Lama tidak berkunjung ke kios jenang Mak Yah, pandangan Cahaya menjelajahi tiap sudut pasar. Di samping kios jenang, jajanan pasar terpantau padat pengunjung. Tidak hanya satu, tetapi tiga dengan pilihan jajanan menggunung. Tentu saja Cahaya sudah mencicipi klepon dan getas, sebelumnya. Kios Mak Yah pun sedikit berbenah. Beberapa waktu lalu, kios menempati satu petak, berdempet-dempetan. Namun kini, kios terasa lega. Mak Yah menyewa dua kios dan memperbantukan putra satu-satunya yang baru lulus SMA bernama Danar.

"Mbak Aya, terima kasih bukunya," ucap Danar sambil meracik jenang sumsum pesanan pengunjung lain sebelum kedatangan Cahaya dan Baskara yang memilih tempat duduk dekat tatanan jenang dalam bakul, "kepake banget."

"Syukurlah," balas Cahaya sembari menjulurkan kedua jempolnya. "Aku kira bakal nggak cocok sama materi sekolahmu."

"Cocok, kok. Buku dari Kak Aya lumayan untuk tambahan soal-soal. Sekali lagi, makasih."

"Sama-sama. Belajar yang rajin, ya. Sebentar lagi kan jadi anak kuliahan."

"Sip."

"Anakku ini beda sama aku," sela Mak Yah setelah selesai mencuci peralatan makan dan kembali ke depan untuk melanjutkan pekerjaannya melayani pembeli. "Sekolahnya rajin. Nggak perlu disuruh belajar juga sudah jalan sendiri."

"Berarti Mak Yah dulu sekolahnya nggak rajin?" seloroh Cahaya sembari menahan tawa.

"Kata Bapak sih, nggak, soalnya dulu Emak pacaran melulu, Mbak Aya. Malahan hampir tinggal kelas," timpal Danar sadis. Jitakan Mak Yah tak terhindarkan lagi. Danar tidak melawan, dan hanya terkekeh sambil mengelus-elus pucuk kepalanya.

"Kalau nggak gitu, aku nggak bakal ketemu sama bapakmu yang pemalu itu dan nggak bakalan ada kamu di dunia ini, Nar!" protes Mak Yah, sewot, kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Cahaya. Semuanya lantas tertawa mendengar Danar meminta maaf berkali-kali sembari melindungi batok kepalanya. "Eh, kalian ke sini mau makan jenangku, kan?"

"Memangnya ada menu lain, Mak?"

"Ya, nggak ada, tho."

Cahaya menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. "Kebiasaan. Ngelucu terus." Padahal garing, batinnya.

Sembari terkikik, Mak Yah menjawab, "Karena sudah lama kamu nggak ke sini, jadi hari ini mau dibuatkan jenang apa?"

"Seperti biasa saja, Mak. Spesial. Dua mangkuk."

"Oke." Mak Yah membalas, tetapi belum menyadari seseorang yang duduk di sebelah Cahaya. "Danar, tolong buatkan dua bubur lagi, ya. Spesial. Mak mau periksa santan simpanan di belakang. Takutnya kurang."

"Siap, Bos!"

Jitakan Mak Yah kembali Danar terima dengan lengguhan. Dia meringis, sementara Mak Yah berlalu dengan tawa menyembur.

"Nggak mau coba jenang spesial plus-plus, Mbak?" tawar Danar lirih karena tidak ingin sampai ibunya mendengarnya.

"Apa itu?"

Danar mengerling. "Racikannya rahasia. Dijamin nikmat."

"Boleh, deh. Buatin dua, ya." Baskara memelotot sambil menyikut lengan Cahaya. "Oh, ralat. Satu saja. Yang satunya spesial biasa," imbuhnya.

Kecuali berkenaan dengan dapur, seperti itulah Baskara dalam menjalani kehidupannya. Dia sukar menerima perubahan. Kiranya sudah mendapatkan kenyamanan, sebisa mungkin Baskara pertahankan. Mengubah penampilan pun butuh waktu hampir setahun, termasuk mengubah potongan rambutnya.

Resep Rahasia BaskaraWhere stories live. Discover now