18. Dihantam Kenyataan

46 5 4
                                    

Sejak dulu, berulang kali intuisi Baskara memperingatkan untuk berhati-hati dengan Wisnu. Persaingan mendapatkan beasiswa sekolah memasak ke Italia menjadi penandanya. Baskara tahu usaha Wisnu berbanding lurus dengan privilese yang dimilikinya, sementara dia harus berlari sekuat tenaga untuk sekadar menyamai langkahnya. Setelah on the job training dan ujian tulis selesai dengan hasil memuaskan, serta nilai Food & Beverages Product yang mereka tunggu-tunggu keluar, kebetulan nilai keduanya A padahal biasanya nilai Wisnu di kisaran B atau B+ di bawah Baskara, hal itu menjadi bukti keseriusannya.

"Ada kabar bagus," ucap Wisnu ketika menyampirkan tangannya di pundak Baskara. Meskipun risih, Baskara mencoba meredam keinginan untuk melepaskan sampiran tangan itu.

"Apa?"

"Kecuali translete ijazah karena masih nunggu dari sekolah dan pengurusan visa setelah kita keterima, semua persiapan untuk apply beasiswa sekolah ke Italia sudah beres," terang Wisnu dengan mata berbinar.

Memperoleh informasi itu membuat Baskara sampai berhenti melangkah. Mereka segera menepi dari koridor karena beberapa siswa lain merasa terganggu dengan keberadaan keduanya di tengah jalan. Taman samping menjadi tujuan mereka melanjutkan obrolan.

"Serius?" Baskara bertanya dengan antusias.

"Jadi, mulai sekarang kamu tenang aja. Papa sudah atur semuanya, termasuk biaya kita selama tinggal di sana kalau sampai tembus beasiswa ini. Itu syarat papaku mau biayai sekolah kita."

"Termasuk surat rekomendasi dan referensi?"

"Harus berapa kali aku ulang omonganku?" Wisnu bertanya balik. Baskara menggeleng-geleng.

Mereka kembali melangkah dengan menyunggingkan senyum.

Tinggal sedikit lagi, pikir Baskara. Aku harus berterima kasih ke Pak Prabu atas kesempatan ini, lanjutnya membatin.

Tiba di rumah Prabu, Baskara langsung berganti pakaian dengan kaus oblong kemudian menuju dapur. Pekerjaan menantinya, sebab ada pesanan buffet salah satu dinas setempat bakda magrib nanti.

Belum juga memasuki area dapur, tiba-tiba Hadi berjalan keluar dengan sempoyongan.

"Bapak kenapa?" tanya Baskara, refleks memegangi tubuh yang hampir ambruk itu. Saking kurusnya sampai dia tidak memerlukan tenaga berlebih saat menangkapnya. Bulir keringat tercetak di dahi. Suhu tubuhnya tinggi.

Gelengan Hadi menuntun putranya untuk mencarikan tempat duduk. Wajahnya semakin pias. Pria itu terbatuk cukup dalam seolah rongga paru-parunya akan rontok jika terus melakukannya. Lekas, Baskara mengambil air hangat untuk meredakannya.

"Sudah tahu sakit, masih maksa kerja," omel Baskara ketika Hadi memejam, sementara punggungnya menempel di dinding.

Beberapa pekerja dapur yang kebetulan lewat hanya bertanya sepintas sebelum kembali ke kesibukan masing-masing karena diburu waktu.

"Waktu kamu berangkat ke sekolah tadi, badanku sudah enakan. Lagi pula, ada pesanan banyak. Aku khawatir dapur keteteran," balas Hadi masih sambil memejam.

"Buktinya sekarang tumbang juga, kan?"

Hadi tersenyum tipis setelah terbatuk. Dia berkata tanpa menatap putra semata wayangnya, "Kamu persis ibumu kalau seperti ini. Cerewet."

"Dan Bapak nggak pernah bisa dibilangin supaya jaga diri."

"Nah, itu juga sifatku yang menurun padamu. Keras kepala."

"Kenapa kita malah bahas hal nggak penting kayak begini sementara di dapur lagi repot?"

"Kamu yang mulai duluan."

Resep Rahasia BaskaraWhere stories live. Discover now