20. Menyelami Sanubari

38 5 14
                                    

Begitu sendirian di mobil, Wisnu ingin menandak. Dia tidak menyangka memperoleh jawaban atas keisengannya. Tepatnya, ketika mengantar Cahaya kembali ke Resto Kenanga, dia bertanya apakah besok boleh mampir untuk menikmati nasi becek. Gadis itu mengiakan.

Sinyal positif, pikirnya.

Keesokan harinya, Wisnu pergi ke restoran dan disambut hangat Cahaya. Padahal, resto baru buka. Semua pekerja sempat curiga, cowok itu sengaja bolak-balik melintas dan menepi setelah memastikan plang Open dipasang di pintu kaca. Kebetulan resto buka agak siangan karena ada jadwal general cleaning.

Mereka memilih tempat duduk di samping jendela kaca. Cahaya sengaja memilih tempat itu karena tidak ingin ketiduran saat mengobrol. Sebab, semalam dia kurang tidur. Terus kepikiran. Dia sungkan kalau sampai Baskara tahu dirinya membawa orang yang tidak disukainya ke restoran. Namun, segera ditepisnya perasaan itu karena bisa berkencan dengan Wisnu selagi pemilik Kenanga masih di Singapura adalah hal yang harus dinikmatinya sekarang.

Kencan? Bukannya ini klaim sepihak? benak Cahaya mengingatkan dengan nada mencemooh.

Shut up, hatinya membela.

Sementara di dapur, beberapa kali leher penghuninya menjulur untuk memeriksa keadaan Cahaya dan Wisnu, dan kembali ke posisi semula begitu Dani memutar kepalanya dan bertolak pinggang. "Kerja!" perintahnya.

"Siap," serentak mereka membalas dan kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kelima orang itu harus menyelesaikan memasak krokret untuk makanan pembuka, dua nasi becek untuk hidangan utama, dan es kacang hijau sebagai penutup.

"Nggak bahaya mereka kencan di sini?" Ramon bertanya pelan sembari menyiapkan garnis untuk makanan pembuka.

"Santai," Musleh menukas. "Si bos kan lagi ke luar negeri. Untuk sementara mereka aman makan di sini."

"Apa Bu Aya sudah nggak tertarik lagi sama Pak Bas, ya? Sejak awal kita tahu, mereka kayak lem sama perangko. Lengket terus."

Musleh menoleh dan menahan tawanya. "Lem sama perangko? Jadul amat."

Mereka terkekeh. Sari ikut tertawa kecil. Musleh dan Ramon saling melempar pandangan sebelum mengarah ke asal suara. Keduanya tidak mengira, satu-satunya penghuni dapur berkelamin perempuan itu ikut mendengarkan obrolan. Jadi, bisa dipastikan Dani juga bisa mendengar karena posisinya tidak jauh darinya.

"Cewek tuh, kalau sudah kasih perhatian lebih dan nggak dapat balasan setimpal, ya, pasti lari ke pelukan cowok lain. Itu normal," Sari berujar tanpa diminta.

"Memangnya sudah nggak ada lagi, ya, cewek yang bisa dipegang kesetiaannya?" Fadli menimpali. Semua orang terkesiap, sebab baru kali ini laki-laki paling pendiam di dapur itu ikut bersuara.

Sari berdecak seolah sedang meludah, kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangan, menyadari telah berlaku kasar ketika mengungkapkan isi hatinya. Keempat orang lain membeku di posisi masing-masing. Hanya deru exhaust fan dan blower saling beradu, dan api kompor yang menjilat peralatan memasak bagai latar.

Jika Sari tidak melanjutkan mematikan kompor saat tahu rebusan kacang hijau sudah matang, mungkin mereka belum akan melanjutkan pekerjaan masing-masing.

Kemudian, hening.

Cukup lama berselang, seorang kasir merangkap bagian administrasi mendekat dan bertanya kepada Dani sebagai penanggung jawab dapur, "Pak Dani, makanannya sudah siap? Bu Aya kelihatannya mulai panik. Jangan sampek―"

"Lima menit lagi," potong Dani. "Aku sendiri yang antar ke depan. Kamu kembali ke tempatmu saja."

"Siap, Pak."

Resep Rahasia BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang