19. Konsekuensi Atas Pilihan

45 6 8
                                    

Melalui serangkaian pemeriksaan laboratorium yang dibiayai Prabu, Hadi terdiagnosa Tuberkolosis atau TBC. Beberapa waktu belakangan ini memang Hadi sering mengeluh nyeri di dada dan batuk yang tak kunjung sembuh, tetapi setiap kali Baskara membujuknya ke rumah sakit langsung mendapatkan penolakan. Cuma batuk biasa. Paling kebanyakan hirup asap, kilahnya. Puncaknya, batuk berdarah dan pingsan beberapa hari lalu menjadi pemantiknya. Jika tidak begitu, mana mungkin dia mau tergolek di bangsal khusus di rumah sakit.

Sembari duduk di depan kamar inap, dada Baskara bergemuruh setiap kali mengingat perkataan dokter bahwa pengobatan untuk penyakit TBC tidaklah sebentar. Butuh waktu, tenaga dan uang, ringkasnya. Beruntung, hal terakhir tidak perlu dia risaukan. Ada penyokong dana. Namun, lagi-lagi dia merasa semakin kecil. Obrolan terakhirnya bersama Prabu mengenai masa depan membuatnya muram.

Dua minggu Baskara serasa dikejar dengan waktu. Mengurusi Hadi di rumah sakit, menengok rumah, membantu di Rumah Makan Daharan sebelum Prabu memintanya fokus merawat bapaknya dulu, dan terakhir mencoba menembus beasiswa sekolah di Italia yang masih diangankannya.

"Bas!" panggil Wisnu dengan masker menutupi mulutnya. Yang dipanggil tersentak sebelum melebarkan senyuman. Dia lalu ikut duduk di kursi, dan Baskara sengaja memberi jarak aman karena takut TBC juga telah menjangkitinya dan kemungkinan bisa menulari yang lain. Sedikit sungkan, Wisnu menyodorkan map folio yang dibawanya, "karena Paklik Hadi dirawat, jadi Papa sekalian ambilin ijazahmu. Bagaimana keadaan bapakmu? Aman?"

"Aman, dan lagi istirahat. Tapi sori, belum bisa dijenguk," terang Baskara. "Sekarang papamu di mana, Nu? Aku mau bilang terima kasih karena mau ambilin ijazahku."

"Papa balik duluan soalnya Daharan lagi rame."

"Oh, kalau gitu aku wakilin ke kamu, ya. Terima kasih sudah mau repot-repot," balasnya. Kemudian, pandangannya menangkap binar mata Wisnu yang berkilatan. Baskara bisa menebak, temannya itu pasti penasaran dengan nilainya. Terpaksa Baskara membuka map dan memperlihatkan nilai yang diperolehnya. Hitung-hitung balas jasa.

"Nggak repot, kok, Bas. Iya, sama-sama." Wisnu lekas memanjangkan lehernya untuk melihat daftar nilai milik Baskara. Pandangannya mendadak lesu setelahnya. "Aku iri sama otak encermu." Dia menghela napas panjang. "Sebenarnya aku sudah bisa menebak, nilaimu pasti lebih bagus dariku."

"Aku malah iri sama kamu. Karena berapa pun nilaimu, kamu masih lebih beruntung. Semua keinginanmu akan terwujud."

Wisnu paham ke mana pembahasan ini akan bermuara. Dilema tengah mendera temannya itu, jadi dia tidak akan membalasnya.

Mereka kemudian mendesah berbarengan dan memandang jauh ke depan dalam diam.

Lamunan Wisnu kembali ke kejadian semalam. Dia meminta tolong papanya untuk mengambilkan ijazah miliknya dan Baskara, dan memantik adu pendapat. Keduanya tidak menyadari, sudah lama acara makan malam tidak berujung sengit. Mereka bahkan belum menyentuh makanan penutup saat Wisnu melemparkan pernyataan.

"Bukannya Papa sudah janji mau berangkatin kami berdua ke Italia kalau dapat beasiswanya. Sekarang tinggal sedikit lagi keinginan itu terwujud. Tinggal translete ijazah sebelum daftar. Kata Pak Angger, peluang kami diterima di sekolah itu sekitar 75 persen," Wisnu berkata dengan sedikit meninggikan suara.

"Siapa yang jamin kalian berdua bisa dapat beasiswa itu? Memangnya Angger orang dalam?"

"Jadi, kita akan muter-muter di sini lagi buat bahas masalah keraguan Papa sama keahlian kami?" Wisnu bertanya penuh sarkas.

"Kalau memang perlu dibahas lagi, kenapa nggak? Biar kamu paham sebenarnya Papa juga nggak setuju sejak awal."

Wisnu menggeleng-geleng tidak percaya. Dia ingin merekam kalimat penyemangat papanya ketika memberitahu niatnya sekolah keluar negeri dan menyeriusinya.

Resep Rahasia BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang