16. Percabangan Hati

45 7 4
                                    

Benak Cahaya mengelana, mendapati tawaran Baskara jalan-jalan dan kulineran. Dua hal yang selalu berakhir dalam angan itu, tiba-tiba mencolok pendengarannya. Dia bahkan sampai menepuk pipi dan mencubit lengannya sendiri untuk memastikan apakah telinganya tidak sedang bermasalah.

"Am I day dreaming?" racaunya.

Baskara tergelak.

"Aneh, ya?" tanyanya setelah kegugupan dan tawanya sirna. "Bukannya ini hal yang biasa? Mengajak orang terdekat jalan-jalan dan kulineran bareng?"

"Ya, ya, ya." Cahaya mengangguk-angguk. "Eh, maksudku, nggak aneh, kok." Kecuali kamu yang ngajakin, lanjutnya dalam hati.

Seringai Baskara terbentuk. "Mau, kan?"

Detak jantung Cahaya terpompa. Dilema mengambil alih. Tebersit bisikan untuk mengiakan saja ajakan itu, tetapi nuraninya mengingatkan bahwa Wisnu telah mengundangnya lebih dulu.

"Masa harus minta waktu buat mikirin beginian, sih?" Cahaya menggumam.

"Apa?"

"Eh―" Gadis itu tidak mengira suara hatinya keluar tanpa disadarinya. "Nggak bisa nih, Bas."

Laki-laki itu terdiam, mencerna. Dia merasa kena tuah. Biasanya yang enteng bilang nggak bisa adalah dirinya, bukan sebaliknya.

"Nggak bisa, ya, sekali ini―"

"Lain kali, mungkin?" tawar Cahaya karena tidak ingin berubah pikiran.

Susah payah Baskara meneguk ludahnya. Pandangannya terjatuh ke lantai seraya mengangguk-angguk lambat. "Bo-boleh. Lain kali, ya."

Tanpa memandang Cahaya, Baskara berbalik badan dan menuju pintu dengan langkah bergas. "Sori, aku lupa ada yang harus aku bereskan dulu di kantor. Habis itu aku pulang cepat." Dia berhenti sejenak untuk membuka pintu sebelum menghilang. "Sekalian pamit, soalnya besok aku mau ke Singapura. Mau lihat dan nyobain kaki lima yang dapat bintang Michelin Guide. Bye."

Engsel rahang Cahaya seolah lesap mengiringi lenyapnya Baskara. Singapura, ya? Harusnya bisa jalan-jalan ke sana sama kecintaanku.

"Wait." Cahaya mengernyit, menimbang-nimbang. "Argh...." Dia menggeram sebal, karena merasa Baskara hanya mengajaknya untuk menemaninya jalan-jalan merengkuh obsesinya, bukan benar-benar ingin mengajaknya.

***

Esok hari setelah penerbangan pertama dari Bandara International Juanda, di sini lah Baskara bercokol. Di Negeri Singa.

Usai mendapatkan stempel paspor keimigrasian di terminal dua Changi Airport yang ramai, entah kenapa malah membuat batinnya hampa. Mencangklong travel bag dan menjelajahi lantai berkarpet membuat hatinya tergerus senyap. Dia teringat Cahaya. Biasanya gadis itu senang tur bandara. Terakhir kali ke Singapura, setengah merengek dia mengajak Baskara ke terminal satu untuk melihat indoor waterfall. Gadis itu dengan entengnya berswafoto dengan berbagai pose turistis yang membuat Baskara sedikit malu.

"Excuse me, Sir. Alone?" tanya seorang perempuan berseragam dengan wajah galak, setelah Baskara menuruni tangga berjalan menuju stasiun MRT yang akan membawanya ke daerah Rochor. Satu kawasan dengan Little India untuk check-in hostel menggunakan EZ-Link card.

"Ya."

"Open your bag!"

Baskara mengernyit, kemudian menunjuk travel bag-nya. "Is it―"

"Ya, open your bag!" Nadanya sedikit meninggi sembari menyentuh tongkat pendek yang diselipkannya di ban pinggang.

Jika tidak sedang di negara orang, Baskara mungkin akan menghela napas dalam supaya orang itu tidak mengganggunya. Akan tetapi, dia tidak ingin dideportasi dari negara kecil itu gara-gara hal sepele, apalagi dicurigai sebagai teroris.

Resep Rahasia BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang