7. Kembali Untuk Kesekian

89 10 0
                                    

Sebenarnya mudah memperbaiki mood Cahaya. Selain mengisi perut dengan makanan atau minuman enak, mengobrol dengan Eyang Putri adalah solusinya.

Selepas Baskara turun di depan Resto Kenanga, Cahaya segera pindah ke balik kemudi untuk pulang. Kekesalan masih dibawanya membelah kemacetan Kota Surabaya. Dia bahkan menenteng kembali bungkusan jenang sumsum karena jengah melihat muka Baskara yang gampar-able. Niatan memberikan bungkusan itu kepada anak-anak resto menguap.

"Mbok!" panggil Cahaya dari balik kaca mobil yang diturunkan separuh begitu sampai di depan rumah mewah di daerah Ketintang―pilihan hunian asri dan keamanannya terjamin karena dekat POLDA Jawa Timur. Dalam hitungan detik, wanita berkebaya kutu baru dan berjarit yang dipanggilnya itu mendekat menyambut suara klakson mobil. "Lagi malas turun, minta tolong bukain pintunya ya, Mbok. Matur nuwun," terangnya sopan.

Pengurus rumah tangga dan keperluan Eyang Putri selama Cahaya bekerja atau keluar kota bernama Mbok Pi, mengangguk kecil. Selisih usia Mbok Pi dan Eyang Putri terpaut cukup jauh, jadi Cahaya merasa seperti memiliki ibu dan nenek.

"Jam segini kok sudah pulang?" Mbok Pi bertanya seraya memutar anak kunci.

"Pengin pulang cepat, Mbok." Cahaya menyapukan pandangannya ke teras rumah. "Tumben jam segini Eyang nggak duduk di teras?"

"Mbok masukin ke rumah. Katanya ngantuk," balas Mbok Pi seraya mendorong pintu pagar. Gelungannya sempat terlepas dan diliukannya kembali dengan gerakan luwes.

Cahaya segera menutup kembali kaca mobil setelah pagar terbuka, kemudian memarkir mobilnya di halaman karena masih ragu akan kembali ke restoran atau tidak. Sesudah turun dari mobil, dia giring Mbok Pi ke rumah melewati pijakan berisi kerikil untuk pijat refleksi Eyang Putri, berhias bermacam bunga di sisi lintasannya.

"Hari ini masak apa, Mbok? Lapar, nih," Cahaya berkata sembari memukul pelan perutnya.

Mbok Pi yang tidak percaya lantas mendekatkan kepalanya ke arah dagu Cahaya, menghidu. "Tapi kok bau kambing?"

"Iya, aku bohong. Sebelum ke sini tadi sempat makan, tapi sekarang lapar lagi. Mbok masak apa?" ulangnya.

"Kebetulan nggak masak. Cuma bikin sarapan. Terus jagain Eyang sama jadwal Mbok bersih-bersih rumah hari ini."

"Yah, padahal pengin banget makan masakan Mbok Pi," gumam Cahaya sedih.

Mbok Pi sebenarnya ingin tertawa melihat reaksi Cahaya, tetapi ditahannya sebaik mungkin.

Tak lama berselang, Cahaya tiba-tiba mendongak dan menyadari keanehan. Senyum Mbok Pi mengembang. "Ada apa, Mbok?" tanyanya sambil menggaruk-garuk dahi.

"Mana mungkin Mbok nggak masak."

Bola mata Cahaya membulat setelah mendesah panjang. Karena gemas, dia raih pundak Mbok Pi pelan dan mengarahkannya menuju dapur. Mereka berhati-hati ketika melangkah supaya tidak gaduh, apalagi sampai membangunkan Eyang Putri. Sementara Mbok Pi menyiapkan makan siang, Cahaya memindahkan jenang ke dalam mangkuk dan Mbok Pi hanya melirik sekilas, tidak bertanya.

"Masak rawon ya, Mbok?" tanya Cahaya saat Mbok Pi membuka panci berisi masakan berkuah hitam dan seketika menepak penciumannya.

"Betul. Ada kecambah mentah, empal, tempe goreng, sama telur asin. Mbok juga goreng kerupuk udang. Pokoknya, lengkap."

"Asyik."

Kecupan Cahaya mendarat di pipi Mbok Pi yang cekung, kemudian memeluknya hangat. Kebahagiaan terpancar. Usia Cahaya yang terbilang muda―22 tahun, tidak memupus kemanjaannya. Terkadang Mbok Pi tidak percaya bahwa gadis kecil yang diasuhnya dulu, kini beranjak dewasa dan berani membangun mimpi dengan berbisnis bersama temannya.

Resep Rahasia BaskaraWhere stories live. Discover now