15. Pergerakan Menerima Tantangan

59 7 18
                                    

Apa yang Baskara sesali dalam hidupnya?

Dia pasti menjawab, tidak akan menyusul Hadi ke tempat kerjanya ketika tiba-tiba teringat almarhumah ibunya. Dengan begitu, dia tidak perlu mengenal Wisnu dan Prabu. Sebab mengenal mereka, seperti terjebak dalam gelembung inferioritas. Dia tidak bisa memungkiri, terlebih setelah tahu Wisnu tidak segera membagi informasi yang didapat berkenaan dengan beasiswa sekolah kuliner dan Michelin Guide. Lagi-lagi, keraguan membentangkan jarak mimpi-mimpinya kembali.

"Kenapa diam, Bas?" tanya Wisnu setengah berteriak ketika sepeda motor melaju meninggalkan rumah Angger. "Ketiduran atau lagi sariawan?" candanya. Baskara pura-pura budek. Beruntung, situasi mendukung karena jalanan sedang ramai.

Berkebalikan dengan Baskara yang ingin melupakan informasi yang didapatnya dari Angger, Wisnu tidak ingin membawa pulang pertanyaan apa pun di dalam kepalanya. Akhirnya, Wisnu memutuskan mampir ke rumah Baskara setelah turun dari sepeda motor, lalu duduk di kursi depan. Baskara menyusul. Keduanya diam dengan pikiran masing-masing sambil memandang angkasa kelam bertabur bintang.

"Kamu masih marah sama bercandaan yang tadi?" Wisnu yang tidak sabaran, membuka obrolan, "Dani kan sudah bilang kalau bercanda."

"Tapi bagiku terdengar mirip ejekan, bukan candaan. Karena apa? Kalian tahu hal itu nggak mungkin kejadian."

"Waduh, sensitif banget. Kayak test pack!" Wisnu akhiri gurauannya dengan terkekeh.

Tatapan Baskara berhasil menghentikan tawanya. Pupil mata hitam legamnya serasa menusuk dan membuat Wisnu mengkeret, kemudian mengucap kata maaf tanpa suara.

"By the way, mumpung aku ingat, aku sudah tanya Pak Angger soal beasiswa kuliah ke luar negeri dan Michelin Guide yang pernah kita bahas sebelumnya," Wisnu melanjutkan.

Kerongkongan Baskara mendadak kering. Dia berkalkulasi, segera mengonfrontasi Wisnu karena telah mengetahui informasi dari Angger tetapi tidak segera membaginya, atau mendengar alasan Wisnu terlebih dulu sebelum mengambil tindakan tegas.

"Karena sibuk sama Daharan, aku sampai lupa kasih tahu kamu," imbuh Wisnu. Baskara berakhir memilih opsi kedua dengan mendengarkan alasannya. "Pertama, untuk beasiswa sekolah, kita pilih kampus ALMA. Sekolah itu rekomendasi Pak Angger. Katanya, kita diharuskan mendaftar online melalui aplikasi di website-nya, terus akan ada Letter of Acceptance setelah melalui tahap wawancara. Ini optional, tapi tahun kemarin ada."

Wisnu berdeham sebelum melanjutkan bicaranya.

"Tapi sebelum melalui tahapan-tahapan itu, kita harus mulai menyiapkan berkas-berkas. Mulai dari translete ijazah ke bahasa Inggris karena sekolah kita nggak pakai kurikulum internasional, DOV atau Declaration of Value yang nantinya dikeluarkan pihak kedutaan, dan minimal kita harus bisa bahasa Italia tingkat dasar. Hal penting lainnya selain surat rekomendasi adalah motivation letter. Kita harus mulai bikin draft-nya, Bas. Waktunya lumayan mepet."

Baskara mendengkus. Syarat-syarat yang disebutkan Wisnu memberatkan baginya karena berkenaan dengan biaya. Tiba-tiba Baskara merasa malu berharap papa Wisnu mau membiayai segala keperluan beasiswanya dimulai dari pendaftaran. Dia berkeinginan mendapat durian runtuh, lagi, persis ketika mentoring Angger diperolehnya dulu.

"Bas! Baskara," panggil Wisnu. Baskara langsung tersadar dari lamunannya. "Mikirin apa lagi?"

"Belum juga dapat beasiswa, tapi aku harus keluar biaya banyak. Gitu, kan, intinya? Ternyata sekolah ke luar negeri memang mahal."

Tatapan Wisnu mengandung iba ketika helaan napas Baskara terdengar sekali lagi. Hal inilah yang membuatnya ragu untuk berterus terang setelah memperoleh informasi dari Angger, bahkan sampai berhari-hari mengeramnya. Dia tahu pasti sahabatnya itu akan kepikiran dengan biaya-biaya, padahal masih banyak yang harus dipikirkannya selain hal itu.

Resep Rahasia BaskaraWhere stories live. Discover now