4. Laksana Fajar

105 10 8
                                    

Ditinggal Ibu untuk selama-lamanya kemudian memperoleh teman baru berbagi takdir yang sama adalah hal yang sangat Wisnu syukuri. Kejadian di halaman depan rumah pagi kala itu jadi penanda.

Setelahnya, hampir setiap hari Wisnu menunggu kedatangan Baskara untuk berangkat ke sekolah sama-sama dengan berjalan kaki. Tiap kali Wisnu berkata kepada Baskara untuk menunggunya di dalam rumah jika belum kelihatan batang hidungnya, setiap kali itu pula Baskara menolak. Wisnu tidak tahu alasannya. Anehnya, Baskara seperti tahu jam berapa dia harus sudah ada di depan pagar rumah Wisnu.

"Hari ini sarapan apa, Bas?" tanya Wisnu menyusul berangkat ke sekolah yang terletak tidak terlalu jauh dari hunian mereka. Hanya butuh sekali berbelok setelah berjalan lurus sekitar 500 meter melalui setapak yang tidak dilewati bus atau angkot. "Kalau aku, Papa tadi buatkan telur dadar pakai daun bawang sama tempe goreng, terus aku taruh kecap di atasnya. Enak," sambungnya.

Baskara menggumam, "Aku tadi sarapan... itu―"

Sekejap melirik, Wisnu menangkap gurat sedih di mata Baskara ketika menghentikan kalimatnya sendiri. Karena Baskara cepat-cepat mengembalikan senyumnya, Wisnu jadi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. "Kamu―"

"Nasi dicampur kelapa parut sama garam terus dibentuk bulatan-bulatan," balas Baskara lekas. "Itu sarapanku."

"Enak banget."

Jawaban Wisnu memancing anggukan Baskara. Lesung pipinya menyambut. "Memangnya pernah makan?"

"Pernah, dong. Pas pengin, aku minta Papa buat tanak nasinya sedikit lama. Apalagi kalau dapat nasi bagian bawah dandang." Wisnu terpejam seraya membayangkan. Saat menghirup udara dan berharap membaui aroma nasi dimasak menggunakan kayu bakar, seketika itu Wisnu menghentikan kegiatannya. Dia mendelik. Aroma got menepak penciumannya. Kekecewaan menamparnya telak.

"Yang agak gosong gitu kan, ya?"

Wisnu berbinar memperoleh ilustrasi langsung dari Baskara. Dia manggut-manggut, bersemangat. "Tambah gurih."

Persetujuan Baskara terangkum saat telapak tangan mereka sama-sama terentang di udara. Untuk pertama kalinya dia merasa nasibnya tidak buruk-buruk amat begitu menerima tos dari Wisnu. "Aku kira makanan itu cuma buat orang miskin. Ternyata orang kaya juga makan sego krawu kambil (nasi dicampur kelapa dan garam)."

Wisnu menyampirkan sebelah tangannya di pundak Baskara. Baskara mengikuti pergerakannya, lalu mereka melangkah dengan riangnya. Wisnu menimpali, "Selama mulut masih sama-sama satu, kemungkinan makanan yang masuk juga sama."

Secepat itulah keduanya melupakan jurang menganga di antara mereka. Persahabatan antara anak tukang masak dan pemilik rumah makan tidak pernah sehangat ini.

Sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan dan harus berpisah karena berbeda sekolah. Sebelum berlalu, Wisnu sempat berkata, "Pulang sekolah nanti aku ke rumahmu ya, Bas."

"Ngapain? Main bola?"

"Nggak. Aku mau buat telur dadar, tempe goreng, sama dikasih kecap di atasnya. Kita makan siang bareng."

Dahi Baskara berkerut.

"Tenang saja, aku bawa bahan-bahannya dari rumah. Kamu nggak usah bingung. Nggak usah siapin apa-apa," imbuh Wisnu.

Bukannya hilang, kerut itu semakin dalam. Ceruknya sampai menarik kedua alisnya mendekat, mengetat. Akan tetapi, Wisnu tidak sempat memperhatikan raut teman barunya itu karena dia sudah lebih dulu kabur menuju kelasnya.

"Kalau ada yang bisa kusiapkan di rumah buat masak-masak, pasti akan aku siapkan. Sayangnya, orang miskin nggak punya apa-apa untuk ditawarkan," gumam Baskara sembari melangkah dengan perasaan tak enak. Dia menggeleng-geleng, berusaha mengenyahkannya.

Resep Rahasia BaskaraWhere stories live. Discover now