𝖍 : lembar 11 ✿

521 83 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arkana melangkahkan kaki dengan wajah murung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arkana melangkahkan kaki dengan wajah murung. Kalau digambarkan, wajah Arkana pastinya jelek banget. Suasana hati Arkana juga pengen bakar orang sekarang juga.

brakk

Arkana membuka pintu kamar Arsa dengan melampiaskan seluruh emosinya. Arkana paling tidak menyukai rumah neneknya. Dulu, hawanya serem pake banget, apalagi sekarang? Ditambah, Arkana bisa melihat mereka.

"Woy, abang! Kalau pintunya jebol nanti abang digantung, mau?!" Arsa yang sedang habis mandi langsung terjungkir ketika mendapati kakakknya dengan wajah merah padam. 'Kenapa lagi manusia satu ini.' Batin Arsa kesal.

"Kesel banget!" Arkana bersedekap dada dengan bibirnya yang mencibir.

"Kenapa tuh, bang? Pasti kalah ngegame nih." Arsa mulai mengobrak abrik lemarinya, mencari baju yang cocok dipakai seraya mendengarkan curahan kekesalan hati seorang Arkana Adinata.

"Kita nginep. Di rumah nenek." Kata Arkana dengan penuh penekanan di akhir kalimat. Arsa sontak berdrama memegangi dadanya sesak, "Omaigat abang! Apa yang harus kita lakukan?!"

"Alay. Buruan kemasin barang mu. Bantu adek-adek nanti juga, kalau udah selesai."

"Iya, oke." Arsa tersenyum tertekan. Mau nolak juga takut, nanti yang masakin dia siapa ..

"Abang," Langkah Arkana terhenti. Arkana kembali masuk ke dalam kamar Arsa sambil menaikkan alisnya heran. "Kenapa lagi?"

"Kok .. tiba-tiba?"

Arkana mendekat kembali ke arah Arsa dengan raut wajah serius, "Pembunuhan." Kata Arkana dengan nada menakut-nakuti Arsa. Arsa sontak memukul kepala Arkana dengan bantal yang ada di dekatnya, "abang cocok jadi pemain sinetron." Cibirnya sinis menatap sang kakak.

Arkana hanya meringis pasrah. Pukulan Arsa bukan main sakitnya, mungkin kepalanya akan benjol sekarang juga.

Arkana memilih berlalu pergi dari kamar Arsa, memberitahu adik-adiknya yang lain sebelum sang bunda datang.

Kini Arkana berada di depan pintu bertempelkan stiker roket dan bulan. Siapa lagi pemiliknya jika bukan Angkasa dan Langit. Kamar mereka disatukan karna menurut bunda, anak kembar tidak boleh dipisah.

Dibukanya pintu itu, dan aura dingin pun menyapu permukaan kulit Arkana. "Dih, bocil-bocil idupin AC jam segini." Gerutu Arkana.

Eh?

Bukan.

Kamar si kembar kosong, entah kemana kedua adik kembarnya itu.

Dan ketika pintu kamar si kembar Arkana buka dengan lebar, tampaklah sosok arwah penunggu? Arkana baru pertama kalinya membuka kamar adik kembarnya setelah sekian lama malasnya berkunjung ke kamar saudaranya yang lain.

Sosok itu menatap Arkana lamat dalam hingga Arkana merinding. Tangan Arkana reflek menutup pintu ketika sosok itu mulai berjalan tidak menapak ke arahnya.

Sembari mengatur nafasnya, sekelibat ide terlintas di benaknya. "Gimana cara biar aku engga bisa melihat mereka lagi?" Gumamnya.

Hingga suara bisikan memenuhi indra pendengaran Arkana, Arkana merasa berada di bawah alam sadar begitu mendengar suara yang familiar berbisik di telinganya. "Jangan gegabah. Jangan mencoba menghilangkan kemampuan itu sebelum waktunya, bodoh."

Arkana sadar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arkana sadar. Begitu kembali kepada kenyataan, bukan lagi rumah sebagai latar belakangnya. Ini mobil. Apa dia pingsan? Apa segitu kuatnya energi makhluk yang membisikannya dengan penuh makna?

Namun bukan itu yang Arkana khawatirkan sekarang.

Apa semua barang yang dirinya siapkan tadi, sudah dibawa semua?

Arkana menengok ke bagian bagasi dengan brutal sehingga menimbulkan suara berisik, membuat anggota keluarga lainnya menyempatkan menengok ke kursi bagian belakang.

"Kana? Udah bangun?"

'Belom. Ini arwahnya yang bangun.' Cibir batin Arkana. "Iyaa ayah. Barangku udah dibawa semua, bun?" Arkana melihat bunda Adinata mengangguk seraya mengacungkan jempolnya. Akhirnya membuat Arkana bernafas lega.

"Kok kamu tidur di depan kamar Angkasa ta─"

"Itu kamar Langit juga, bun!" Sargas Langit berlagak ngambek.

Bunda hanya terkekeh menanggapi Langit, "iya, kamar kalian. Gimana bisa? Bunda bangunin juga gak gerak-gerak. Untung ada ayah yang bisa angkat Kana." Ayah Adinata yang seolah merasa dipuji pun menepuk dadanya dengan tangan terkepal bangga.

"Ayah dipuji sekecil otak bang Arsa aja demen!" Arjuna menyindir dari kursi tengah. Arsa rasanya ingin menjitak kepala Arjuna yang berada di sampingnya sekarang juga, tapi apa boleh buat, dirinya bahkan tidak tega untuk menegur Arjuna.

Arkana masih belum menjawab pertanyaan sang bunda. Arkana sibuk memikirkan topik untuk mengalihkan pertanyaan bunda barusan.

"Bunda! Tante Tri memang sakit apa? Ketusuk?"

Bunda melirik Arkana lewat kaca mobil, lalu kembali memandang jalan. "Bukan tante Tri yang sakit, tapi Kejora. Kena silet."

"HAH? SILET?"

"Hush! Telinga ayah nanti budeg." Kata ayah Adinata sambil mengusap-usap telinganya.

Ah ya. Arkana ingat. Terakhir kali Kejora berkunjung ke rumahnya, gadis itu memakai dress yang cukup pendek. Tapi nyali pembunuh itu sangat besar, jelas ada pengawasan dewasa dari mama Kejora, tapi orang yang disebut pembunuh itu tetap berani melakukan penyerangan.

 Tapi nyali pembunuh itu sangat besar, jelas ada pengawasan dewasa dari mama Kejora, tapi orang yang disebut pembunuh itu tetap berani melakukan penyerangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

frumpoussun Ⓒ︎ kaila
030122

[2] adinata ; enhypen ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang