Rentangan kisah panjang dalam keluarga kecil mereka yang dikepalai oleh Ayahanda Arka dan Bunda Nanda terkasih serta sembilan putri-putri cantik mereka. Bersama seutas benang merah takdir yang menuntun masing-masing dari mereka memulai sebuah cerita...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
UJIAN resmi berlangsung tepat pada senin pagi ini. Seluruh murid dipastikan telah memenuhi syarat-syarat untuk ikut serta dalam ujian tengah semester ini. Soal demi soal dikerjakan dengan seksama meski beberapa di antara mereka sudah mengepulkan asap dari kepala sebab harus menghadapi matematika pada hari pertama ujian. Sebut saja Rheanja, gadis itu telah dicekoki banyak rangkuman, rumus cepat dan materi dari Shaletta, sang kembaran jenius namun tak membuat si gadis mampu menyerap. Justru darah sang gadis mendidih melihat rentetan soal bergambar minim penjelasan selain meminta ia mencari x.
Rheanja melotot seakan ingin mengajak tempur lembar soalnya. “Nying, pagi-pagi udah bikin stres. Dasar semua soal mtk sama aja!”
Tepat di depan gadis barbar tersebut, Kavi menyahut berbisik. “Nggak usah sok stres, nih contekan.” dan melempar kilat kertas lusuh ke mejanya.
Rheanja langsung sumringah. “Terima kasih, Kawan. Jasamu sungguh berarti.”
“Hadiahnya cium, ye?”
“SEKATE-KATE MULUT LO! NGGAK PERNAH DIDIK YE LIDAH TAK BERTULANG ITU, HAH?!”
“RHEANJA! KITA SEDANG UJIAN, KENAPA KAMU?!”
Beralih dari keributan membawa bencana berupa murka guru pengawas. Maula mengerjakan ujiannya dengan tenang. Tentu saja, ahli komputernya harus pandai matematikaㅡterlebih lagi Liliana yang merupakan mahasiswa matematika. Kalau masa-masa ujian begini Shaletta telah berduet bersama Liliana menjadi tutor pribadi dan hanya perlu dibayar senyuman manis. Patut disyukuri selain pelototan Balqis ketika mereka ingin beranjak dari tempat bahkan belum genap 10 menit duduk.
Menyisir rambut panjang lurus menggunakan ruas-ruas jari, si empu tersenyum sombong. “Nggak sia-sia si Aresh belok suka ke gue. Gue pinter gini. Yakali nggak kepincut dia. Cielah, istri idaman nih!”
“Maula, kamu kenapa, Nak? Kok senyam-senyum begitu? Udah selesai?”
Pemilik nama lantas bangkit, memasang ekspresi menyebalkan seraya mengibaskan rambut. Maula berjalan ke depan mengumpulkan lembar jawaban. “Udah dong, Buk. Anak ayah saya nggak ada yang begoㅡkecuali Rhean, dipertanyakan dia mah,” katanya di sambung mencicit. “Ini ya, Bu. Permisi keluar, mau cari jodoh. Bismillah, berkahㅡEH, BUK! SAYA LUPA!”
Bu Anggi tersenyum kalem dan geleng-geleng dengan tingkah laku Maula yang santer terdengar rusuh. “Apa, Nak? Ada yang salah isi?”
“Bukan, Buk! Saya lupa jodoh saya lagi kuliah sekarang!” Maula menepuk jidat dan menumpu siku di sisi meja guru, ia menaik-turunkan alisnya. “Buk, jodoh saya anak kedokteran lho, Bu. Ibu 'kan punya suami dokter katanya, ya. Bagi tips dong Bu jadi pasangan seorang dokter yang ramah nan geulis kayak Ibu. Berbagi itu indah, Bu.”